BERAKAR LINGKUNGAN HADIR DI TENGAH MASYARAKAT

Pilihan strategis Pastoral 2020-2030

 

“Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah”.  (Yer 17:7-8; bdk. Mzm 1:3)

“Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, tetapi pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik pula” (Mat 7:17)

Seumpama orang yang menanam pohon, demikianlah seperti halnya pastoral. Dalam perumpamaan suatu pohon, pilihan kebijakan dapat dijelaskan betapa pentingnya akar bagi pertumbuhan pohon, cabang, dauh dan produktifitasnya (bunga dan buah).  Gereja dapat dianalogikan sebagai pohon.  Tuhan Yesus memakai pula pohon sebagai analogi untuk menjelaskan tentang pemeliharaan pohon untuk mengasilkan buah: kekudusan, perbuatan, sikap, nilai kebaikan, dampak positif, kontribusi positif bagi pembangunan Kerajaan Allah.

 

Pohon

Perjanjian lama juga sangat sering memaknai pohon  sebagai lambang dan tempat istimewa. Di bawah pohon-pohon orang-orang Israel membuat pertemuan, mengadakan pengadilan dan konggres rakyat (Hak 4:5; 1Sam 14:2; 22:6). Di dekat pohon-pohon tertentu mereka memilih tempat untuk makam orang-orang penting (Kej 35:8; 1Sam 31:13; 1Taw 10:12). Misalnya, pohon Tarbantin di dekat Sikhem (Kej 12:6; 35:4); kemudian  pohon Tarbantin yang ada di tugu peringatan dekat Sikhem (Hak 9:6); pohon Tarbantin peramal dekat Sikhem (Hak 9:37), di Betel (1Raj 13:14) dan di Yabesh (1Taw 10:12). Secara mitologis,  pohon dimaknai secara simbolik : pohon Kehidupan, pohon Pengertian Baik dan Jahat (Kej 2:9,17). Demikian pula tentang pohon Aras, pohon-pohon Tuhan (Bil 24:6; Mazm 104:16). Bahkan pohon juga dipersonifikasikan (digambarkan sebagaimana manusia), bertepuk tangan (Yes 55:12), bergembira (Mazm 96:12), iri hati (Yeh 31:9) dan lain-lain.

Gereja persekutuan  secara fisik dan sosial merupakan institusi tubuh Kristus yang didalamnya mengemban karisma dari Allah Tritunggal, terutama perutusan untuk pengudusan, pengajaran dan penggembalaan bagi sejarah manusia.  Gereja seumpama pohon yang ditanam, bertumbuh dan hidup di kebun alam raya milik Tuhan, melewati aneka pergantian musim.

 

Buah

Dalam Kitab Suci, Buah dipergunakan dalam perlambangan secara rinci (detail), istimewa dan kaya. Sampai samapai buah pertama yang terbaik mesti dipersembahkan bagi Allah. Terkait proses yang diperlukan bagi buah, merupakan:  akibat dari pengolahan lahan (hasil tanah ; Kej 4:3, Mzm 85:13), pemberian Allah ( Kis 14:17), hasil pemeliharaan Allah untuk manusia (Mal3:11), akibat dari tanah yang subur (Mzm 107:34), dicurahi hujan dari langit (Mzm 104:13, Yak 5:18), dipengaruhi sinar matahari dan bulan (Ul 33:14), sesuatu yang harus dinantikan dengan sabar (Yak 5:7), dikirimkan sebagai hadiah (Kej 43:11).

Terkait ancaman dari luar yang mempengaruhi kualitas buah: hama belalang (Ul 28:38,39; Yoel 1:4), murka Allah (Yer 7:20; Mat 21:18-22, Mrk 11:12-14;20-26), penyakit (Yoel 1:12) dan Kekeringan (Hag 1:10).  Tentang jenis kualitas buah : Buah terbaik, Lezat, telah lama dipetik, baru saja dipetik, masak sebelum waktunya, elok dipandang mata, buah yang tidak baik (Ul 33:14, Kid 4:16; Yes 28:4, Yer 11:16, Mat 7:17).  Buah juga dipakai sebagai lambang: pertobatan (Mat 3:8), Pekerjaan Roh Kudus (Gal 5 22-23, Ef 5:9), kebijaksanaan (Kid 2:3), percakapan manusia dan puji-pujian (Ams 12:14; 18:20, Ibr 13:15), perbuatan baik/buruk manusia (Mat 7:17-18; 12:33, Flp 4:17), ibadah (Ams 11:30), bertambahnya orang yang menjadi percaya (Yoh 4:36, Mzm 72:16), pahala bagi orang kudus (Yes 3:10), dan sebagainya.

Gereja pada hakekatnya misi. Gereja ada karena diutus bagi dunia. Pohon yang baik mesti menghasilkan buah yang baik bagi dunia. Kehadiran Gereja berdampak bagi penegakan dan pembangunan Kerajaan Allah.

 

Ranting / cabang/ carang

Kita para murid Yesus dilambangkan dalam PB sebagai ranting yang tak mungkin bisa hidup secara benar jikalau tidak menempel, menyatu, dan tinggal dalam Tuhan. Tuhan Yesus pada suatu kesempatan menganalogikan diri-Nya sebagai pokok pohon Anggur, “Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya. Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah. Kamu memang sudah bersih karena firman yang telah Kukatakan kepadamu. Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya... ” (Yoh 15: 1-8) Di sini dijelaskan suatu konteks PL, bahwa Yesus merupakan penggenapan dari segala harapan Israel tentang kebun anggur pilihan Allah (bdk. Mzm 80:9, Yes 5:1-7, Yer 2:21, Hos 10:1).

Tekanan Injil Yohanes ketika menceritakan tentang pokok dan ranting adalah mengenai kualitas pengenalan, relasi dan kesatuan (intimitas) para Murid dengan Kristus. Bersama dengan itu terjadi proses pemurnian dan pemisahan karena iman dan cinta yang mengalir antara ranting dan pokoknya. Seluruh tindakan pastoral tiada lain untuk memfasilitasi semakin intim dan bersatunya umat dengan Tuhan. Program pastoral merupakan proses berjenjang pendewasaan iman, harapan dan kasih Umat.

 

Daun

Kitab Wahyu menyinggung daun sebagai lambang Injil Kristus, daun  yang bisa menyembuhkan penyakit dosa karena pada daun itu terdapat obat dari Allah (lih. Why. 22:2). Pada Kitab Kejadian, daun digunakan sebagai penutup malu, aib dan kedosaan (Kej 3:7). Namun  dalam Injil, bahwa daun yang lebat dan hijau belum tentu menjamin akan buah yang baik. Maka baik Matius maupun Markus mencatat peristiwa pengutukan pohon Ara oleh Yesus.  Dalam hidup berparoki, banyaknya program, kegiatan dan kemeriahan acara belum tentu menjadi jaminan bahwa akan berbuah baik. Kalau perlu ‘ranting dan daun’ (jumlahnya aktivitas pastoral)  yang tidak baik mesti di potong dan dibersihkan supaya menghasilkan buah yang baik bagi pengudusan diri dan kesejahteraan masyarakat.

 

Filosofi Akar

Sungguh menarik pelajaran yang dapat ditimba dari kedalaman makna ‘akar’.  Akar kebanyakan menjalar secara ajaib di bawah permukaan tanah, tidak menonjol melebihi batang dan daun. Bekerja siang dan malam untuk menopang kehidupan dan pertumbuhan seluruh pohon.

Sekurang-kurangnya,  ada tujuh fungsi akar:

  1. Penopang tumbuh tegaknya tanaman agar kuat menahan beban cabang dan beratnya daun,
  2. Penyerap air dan hara (nutrisi organik/anorganik) dari kesuburan tanah untuk disalurkan ke keseluruhan bagian dari tanaman,
  3. Penyimpan cadangan makanan dan air demi terjaminnya kelangsungan hidup tanaman,
  4. Dalam tumbuhan tertentu , disamping permukaan daun, akar juga berfungsi fotosintesis yakni mengubah energi matahari menjadi energi biokimia  yang diperlukan tanaman untuk membentuk karbohidrat. Hampir semua makhluk hidup di bumi ini bergantung pada energi yang dihasilkan oleh fotosintesis ini.  Pasokan oksigen murni di atmosfir bumi datang dari proses fotosintesis ini.
  5. Fungsi respirasi, seperti nafas pada paru paru manusia.
  6. Fungsi gerak. Tumbuhan sebenarnya tidak hanya tumbuh ke atas dan membesar, namun dibawah permukaan tanah juga bergerak ke dalam dan ke samping untuk mendapatkan sumber air dan nutrisi (hara) dari tanah di sekitarnya.
  7. Fungsi reproduksi. Selain dari bunga dan biji, akar beberapa tumbuhan juga berfungsi duplikasi dan berkembang biak. Dari akar bisa bertunas menjadi tumbuhan baru.

 

Keluarga Sebagai ‘Communio Personarum’

Paus Yohanes Paulus II dalam Surat bagi para keluarga ‘Gratissimam Sane’ (nmr 7), mengatakan bahwa keluarga adalah komunitas fundamental masyarakat, komunitas pribadi-pribadi yang cara keberadaannya dan hidup bersamanya sebagai persekutuan (communio personarum). Keluarga adalah ruang terpenting bagi pengakuan dan pengembangan martabat pribadi manusia untuk mencapai kepenuhannya.

Tujuan ilahi kepenuhan martabat pribadi dibentuk dan dibina dalam keluarga sebagai komunitas kasih yang hidup. Keluarga merupakan ‘rahim’ alih generasi bagi kelestarian spesies umat manusia, lembaga sosial yang tak bisa dan tak boleh diganti. Keluarga adalah ruang kudus kehidupan, pembentuk dan penentu masyarakat. Pada lapis yang paling mendasar, pastoral paroki tiada lain tindakan Gereja dalam menjaga, melindungi dan mengembangkan martabat suci panggilan keluarga di tengah masyarakat. Keluarga adalah struktur komuniter pertama dan paling mendasar bagi penyelamatan ‘ekologi manusiawi’.

 

Keluarga sebagai Akar Lingkungan

 

Yang dimaksud dengan kata ‘lingkungan’  disini adalah istilah kegerejaan yang terkait dengan himpunan yang menjadi bagian dari wilayah teritorial Paroki. Jadi bukan dimaksudkan dengan ‘lingkungan hidup’ dalam pengertian ekologi. Lingkungan dalam sejarahnya pernah dinamai dengan istilah ‘kring’.

Dalam Pedoman Pastoral Pengurus Lingkungan di jelaskan bahwa “Lingkungan adalah cara hidup menggereja murid-murid Kristus dalam persekutuan teritorial berakar keluarga dengan jumlah tertentu. Persekutuan para murid Kristus  ini  menjadi bagian dari paroki,  hidupnya berdekatan dan  menghayati imannya secara mendalam   melalui pewartaan, persekutuan, peribadatan, kesaksian, dan pelayanan masyarakat” (PPPL psl 1).

Seluruh pemaknaan akan simbolisme ‘akar’ di atas, dapat kita pantulkan pada posisi keluarga sebagai akar penopang dan pemberi kehidupan komunitas di atasnya. Panggilan Gereja dalam pastoral lingkungan tidak boleh menyepelekan kedudukan strategis pengudusan keluarga.  Seluruh pastoral akan menjadi pohon ara dengan daun lebat namun dikutuk oleh Tuhan karena tidak berbuah bagi ‘kesejahteraan keluarga’.

 

Lingkungan sebagai ‘Communio Familiarum’ dan Komunitas Dasar Gerejawi

Posisi penting keluarga memiliki tempat utama dalam cara hidup menggereja. Lingkungan sebagai persekutuan (communio) pada dasarnya sebagai ‘keluarga’ yang lebih besar yang didalamnya terdapat keluarg-keluarga. Lingkungan merupakan persekutuan keluarga-keluarga (communio familiarum).

Keluarga dalam ajaran magisterium juga disebut sebagai ‘Gereja Rumah Tangga’ (Ecclesia Domestica). Karena pemenuhan panca tugas Gereja terjadi juga dalam setiap keluarga kristiani.  Keluarga bukan hanya dalam arti biologis (hubungan darah dalam ikatan perkawinan) tetapi juga dalam arti eklesiologis yakni himpunan pribadi pribadi dalam semangat kekeluargaan, sebagai keluarga Umat Allah. 

Lingkungan juga dapat kita sebut sebagai  Komunitas Dasar Gerejawi (‘Basic Ecclesial Community’) karena Lingkungan ini adalah sel dasar (di atas / sesudah keluarga) dimana gen hidup Gereja secara lengkap tercermin dan terwujud secara konkrit.

 

Paroki  sebagai ‘Communion of Communities’

Melalui Baptis, setiap warga Katolik disatukan dalam Gereja. Maka Gereja merupakan persekutuan murid-murid Kristus. Persekutuan murid-murid Kristus berada dalam paroki (Kan 515 # 1). Komunitas paroki dibagi dalam komunitas-komunitas yang lebih kecil dan kongkrit, yaitu lingkungan.

Paroki bukanlah persekutuan tersendiri diluar persekutuan lingkungan. Seluruh program pastoral paroki tidak bisa sebagai kegiatan lain diluar penggembalaan warga Lingkungan. Paroki adalah kesatuan dari lingkungan –lingkungan; communion of communities

Maka lingkungan sebagai persekutuan umat beriman, masing-masing warganya saling memberikan semangat hidup, saling menguatkan dan memberikan perlindungan serta saling menumbuhkan dan mengembangkan iman satu sama lain. Oleh karena itulah lingkungan sebagai komunitas orang beriman menghidupi dan menghidupkan warga lingkungan.

 

Lingkungan sebagai Akar Paroki untuk Hadir di tengah Masyarakat

Pilihan strategis Pastoral  Keuskupan Surabaya sepuluh tahun ke depan (tahun 2020-2030) adalah pendewasaan Paroki  berakar lingkungan yang hadir di tengah masyarakat.

Karena persekutuan umat paroki terdiri dari persekutuan Lingkungan , yakni komunitas yang lebih kecil dan konkrit, dimana relasi antara warga semakin personal dan intensif, maka kehidupan persekutuan umat paroki ditentukan oleh persekutuan warga lingkungan dan persekutuan antar komunitas sesama lingkungan. Kuatnya relasi antar warga di lingkungan dan antar lingkungan akan meneguhkan dan menopang persekutuan paroki. Paroki merupakan communion of communities. Oleh karena itu, lemahnya relasi antar warga lingkungan dan antar komunitas lingkungan, akan mempengaruhi komunitas paroki.

Paroki adalah pohon dengan segala kelengkapannya, seluruh nafas dan dinamika kehidupannya di topang dan dipasok dari kontribusi bersama seluruh lingkungan (fungsi respiratif) yang ada di wilayah paroki tersebut. Kemegahan paroki adalah semu/ palsu jikalau tidak ditopang oleh ‘kualitas nafas hidup yang sehat” di lingkungan.

Kecilnya jumlah warga anggota Lingkungan bukan dimaksudkan untuk memperlemah kekuatan tetapi justru meningkatkan kualitas relasi, kesalingkenalan, kepedulian, jangkauan sentuh dan penghargaan akan potensi karunia tiap pribadi untuk ambil bagian dalam hidup menggereja. Setiap pribadi dan proses kepenuhan hidup masing masing anggota terrengkuh dan terselami.  Dengan meningkatnya jumlah anggota melebihi 40 keluarga, maka Lingkungan menjalankan fungsi reproduktif, yakni segera menyiapkan diri terbentuknya lingkungan baru. Demikian selanjutnya, tiba saatnya berkembang menjadi paroki baru.

Melalui dan oleh rahmat baptis, setiap warga Katolik diutus sebagai saksi Kristus dengan menjadi garam dan terang bagi dunia (masyarakat). Oleh karena itu, lingkungan sebagai persekutuan murid-murid Kristus selalu berjuang meresapi dan meresapkan nilai-nilai Injil bagi masyarakat di sekitarnya. Lingkungan juga sekaligus engsel hidup antara persekutuan Paroki dan keragaman masyarakat. Di dalam dan melalui lingkungan, paroki hadir di tengah masyarakat. Kabar sukacita Injil yang diresapi di Lingkungan diterjemahkan menjadi kesaksian hidup, keteladanan dan kepeloporan dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan alam lingkungan hidup yang sehat dan lestari.  Melalui warga Lingkungan, Gereja Paroki menjadi garam dan terang bagi masyarakat.

Pola strategi tahunan Keuskupan Surabaya dalam kerangka 10 tahun kedepan menjadi proses formasi berjenjang yang bergerak dari penguatan personal setiap murid Kristus, keluarga sebagai ecclesia domestica, penguatan jatidiri dan perutusan komunitas lingkungan, pendewasaan paroki dan menuju Gereja yang hadir sebagai garam dan terang masyarakat.

Dengan demikian Umat Allah Keuskupan Surabaya menghidupi jatidiri sebagai persekutuan skramental  dan berkontribusi bagi pembangunan bangsa. Suatu proses formasi terwujudnya kehadiran gereja bagi sejarah selama 10 tahun ke depan. Hadir dengan integritas iman sebagai murid Kristus, bersatu dan bersama Kristus (signifikan) mewujudkan karya keselamatan secara tulus dan tanpa pamrih demi terwujudnya bonnum commune  yang berkeadilan dan cinta damai (relevan).