Spe Salvi dan Imamat Dewasa Ini

Maret 18, 2008

 

Pengantar

            Ensiklik Paus Benediktus XVI yang kedua (30 November 2007) berjudul “Kita diselamatkan dalam pengharapan” (SPE SALVI facti sumus, Rom 8:24) ditujukan kepada para Uskup, Imam, Diakon, Biarawan-wati, dan seluruh umat beriman. Ada baiknya, dalam kesempatan rekoleksi Imam kali ini, kita melihat pesan2 Bapa Suci dalam hubungannya dengan hidup imamat dewasa ini. Dalam hal ini, Paus Benediktus menggenapi apa yang dirintis Paus Yohanes Paulus II, ketika membuka Sinode para uskup tahun 2000 memperingati Tahun Yubileum Yesus Kristus yang bertemakan “Episkopat sebagai pelayan Injil Yesus Kristus menanggapi harapan dunia” (Episcopus minister Iesu Christi propter spem mundi”). Kiranya, Spe salvi mau menanggapi spes mundi dengan Harapan Kristiani. Lebih dahulu dipaparkan ringkasan pokok harapan kristiani dalam Spe Salvi dan kemudian apa yang relevan sebagai renungan bagi hidup imamat kita, dewasa ini, di jaman modern (malah di jaman post modern!).

 

Harapan kristiani, apa itu dan bagaimana?

Hakekat harapan kristiani.

            Hari demi hari manusia mengandalkan diri pada harapan-harapan yang besar dan kecil, berbeda jenisnya dan menurut tantangan hidup bersama, terhadap diri sendiri, dan menanggapi masa depan, ketidakpastian hidup yang berbeda pula. Tidaklah mengherankan bahwa sering harapan di kaitkan erat dengan iman. Orang yang bisa berharap adalah orang yang beriman. Harapan kristiani dikaitkan erat dengan iman seperti St. Paulus: “...keyakinan iman yang teguh ...” (Ibr. 10:22) dengan “... berpegang teguh pada pengakuan tentang pengharapan kita.” (Ibr. 10:23). Ia mengingatkan umat akan “harapan yang bisa dipercaya” karena mengandalkan diri pada dasar (substantia, Vulgata; habitus, St. Thomas) iman dari para saksi2 iman dalam sejarah keselamatan yang mencapai kepenuhan dalam diri Kristus. Dalam hal ini, harapan kristiani bertumpu pada Allah yang benar dalam karya penebusanNya. Maka harapan kristiani bukan hanya suatu “kabar baik” – suatu komunikasi atas hal2 yang tidak diketahui, tetapi lebih berarti mendorong untuk mengusahakan terjadi/terwujud karena iman akan Allah yang berkarya atas manusia. Singkatnya lebih dari sekedar informatif bahkan performatif  (Injil tidak hanya sekedar sebuah bentuk komunikasi akan hal2 yang bisa/mungkin diketahui, bahkan injil membuat terjadi/terwujud dan karenanya mengubah hidup kita). Dalam uraiannya mengenai hakekat harapan kristiani, Paus menulis” Pintu serba gelap tetang waktu, masa depan, telah terbuka, seorang yang memiliki harapan akan hidup dengan cara yang berbeda. Seorang yang memiliki harapan kristiani dianugerahi hidup yang baru (SS 2). Karena itu, harapan kristiani bersifat transenden (melampaui “harapan itu sendiri”, spes contra spem). Mengacu pada rasa iman Perjanjian Baru, Paus menulis kristianitas tidak membawa pesan revolusi sosial seperti yang membawa perjuangan sia2 Spartacus melalui pertumpahan darah. Yesus Kristus bukanlah Spartacus, bukanlah Karl Marx, dan tokoh2 lain penggerak evolusi-revolusi sosial ekonomi (“Yesus membawa sesuatu yang berbeda, ialah suatu persekutuan dengan Allah yang hidup disertai dengan harapan akan karya Allah yang berbela rasa dengan nasib manusia. ... Dialah yang menguasai alam semesta. Bukan zat dan evolusi yang menentukan segalanya, tetapi akal budi, kehendak, dan kasih Allah”). Gagasan iman dan harapan kristiani semacam ini yang mepengaruhi dunia, karena “kuasa dahsyat unsur2 materi yang tak dapat diubah, tidak lagi berkuasa. Karena manusia bukanlah budak dari alam semesta dan hukum2nya. Manusia justru memliki kehendak bebas. Umat kristiani memiliki harapan hanya karena Yesus Kristus yang mewartakan siapakah manusia sebenarnya dan apa yang seharusnya dilakukan manusia agar sungguh2 menjadi manusia bagi sesama” (SS 6). Dasar iman yang demikian itulah yang memberi “bukti” tentang sesuatu yang “masih tidak terlihat” dan dengan demikian memberi pondasi baru, sesuatu yang merelatifkan hal2 material yang selam ini menjadi andalan. “Bukti2” pengharapan karena iman ini didukung oleh kasaksian para martir/saksi2 iman yang disebut Paus secara khusus, St.Josphine Bakhita, seorang kudus, asli dari Sudan.

            Harapan kristiani, menurut Paus bukanlah sesuatu yang abstrak, ketika Paus mengaitkan dengan muara tujuan harapan kristiani yaitu, hidup yang kekal. Paus mengajukan beberapa pertanyaan: Bagaimanakah kita menghidupi iman kristiani? Apakah itu hidup yang berubah dan hidup yang memelihara harapan? Dan penting ditanyakan: Apakah kita sungguh2 menginginkan hidup yang kekal? Barangkali, dewasa ini banyak orang yang menolak iman hanya karena tidak melihat dan menemukan propek yang menarik tentang kehidupan kekal? (SS 10). Harapan kristiani hendaknya bertujuan pada kerinduan akan terpenuhinya hidup yang kekal. Manusia akan  selalu mengalami paradoks eksistensial untuk ingin mati (dan mengalami kekekalan) dan tidak ingin mati (mau melanggengkan apa yang dipunyai, dialami), karena harapan akan hidup yang kekal lebih dipandang sebagai kutuk daripada berkat. Harapan akan Allah yang menjamin kekekalan hidup dicoba-jawab dengan “menghadirkan Kerajaan Allah” dengan kerajaan manusia. Sering kali kita harus mengakui keterbatasan kita untuk mengusahakan kekekalan hidup terwujud di dunia. Harus diakui bahwa hal itu sia2. Kadang2 kita tidak dapat berkata untuk mengutarakan kerinduan kita, bahkan dalam doa permohonan: “Kita tidak tahu bagaimana kita seharusnya berdoa” (Rm 8:26). Harapan kristiani mendorong kita untuk menyerahkan diri dalam ketidaktahuan yang kita “pelajari” (docta ignorantia). Yang kita ketahui bahwa hidup yang kekal itu bukanlah ini atau itu. Dan dalam ketidaktahuan itu kita percaya yang kekal itu suatu ketika harus eksis. Dalam ketidaktahuan itu kita tidak cenderung menjadi kecewa karena terjerumus dalam samudra kebingungan, karena demikianlah Tuhan Yesus menggambarkan dinamika menghayati hidup kekal dalam kegembiraan untuk berusaha dan menantikan dengan tekun dan setia (“... Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorangpun yang dapat merampas kegembiraanmu itu daripadamu” Yoh 16:22), SS 12.

 

Iman dan harapan kristiani di jaman modern.

            Merefleksikan pokok iman dan harapan kristiani di jaman modern dimulai dengan mempersoalkan “apakah harapan kristiani bersifat individual?” Dengan kata lain, Paus menanyakan apakah kselamatan seseorang tergantung hanya kepada kehidupan pribadi atau tergantung pada pelayanannya kepada sesama? Berkaitan dengan pertanyaan tentang sifat personal keselamatan, Paus bertanya “ Bagaimanakah kita sampai pada penafsiran semacam ini tentang keselamatan jiwa dan bagimana cara kita memahami bahwa gagasan kristiani sebagai suatu pencarian egois demi keselamatan yang menolak gagasan melayani sesama? “Visi yang demikian ini disempitkan artinya dijaman modern dan inilah yang mengakibatkan krisis iman, yang pada gilirannya menjadi krisis harapan kristiani.

            Dalam perkembangan dunia sampai sekarang, ideologi kemajuan beranggapan bahwa kebahagiaan terletak pada hal yang bisa dilihat, sesuai dengan potensi yang ada dalam manusia. Dua hal kategori manusia yang mendukung ukuran kemajuan hidup manusia ialah akal budi dan kehendak yang bebas. Hasil pikiran manusia ialah “kemajuan selalu terikat dengan perkembangan dominan akal budi, dan akal budi adalah kekuatan yang baik dan suatu kekuatan untuk kebaikan.” Kemajuan hidup manusia adalah perpaduan antara akal budi dan kehendak bebas yang sempurna. Dan dua hal ini bertentangan dengan iman dan Gereja. Harus diakui, di satu pihak kemajuan karena kekuatan akal budi dan kehendak bebas mencoba menghadirkan kembali secara sia2 “firdaus yang hilang”, namun di lain pihak kekuatan akal budi dan kehendak yang bebas yang nyata dalam kehebatan ilmu pengetahuan dan karya mengurung iman dan harapan menjadi usaha personal “mengamankan” diri keselamatan itu sendiri. Justru karena itulah, semakin kelihatan dunia dan manusia di jaman modern ini memerlukan Allah, Allah yang benar. Ilmu pengetahuan dan karya manusia memang mendukung kehidupan manusia, tetapi tidak mampu menembus sisi terdalam harapan hidup manusia (SS 16).

            Kerinduan akan Allah yang benar, yang nyata dalam karya penebusan Kristus terjawab dalam kesadaran bahwa manusia ditebus bukan oleh usaha sendiri, oleh akal budi, kehendak yang bebas, kehebatan ilmu pengetahuan dan karya manusia, tetapi oleh kasih. Kasih itulah yang membingkai hidup sosial sebagai yang baik dan indah, dicapai dengan harapan yang besar, pasti dan penuh dijamin oleh Allah dan demi Allah yang adalah Kasih. Allah itulah yang rela merendahkan diri dalam pribadi Yesus Kristus (Fil 2:6-11), yang memberikan hidupNya demi keselamatan manusia dan melalui Dia pula manusia akan kembali pada akhir jaman. Hanya dalam Dia kita menaruh dan sekaligus menantikan kepenuhan harapan.

            Dalam sejarah usaha mewujudkan harapan, manusia “terjebak” dalam dua “perkembangan”. Perkembangan pertama ialah “revolusi Perancis-suatu usaha perapan akal budi dan kehendak bebas sebagai suatu usaha politis” . Sepanjang abad ke 18, masyarakat mempertahankan “iman akan kemajuan hidup” sebagai bentuk baru perwujudan harapan manusia. Meskipun demikian, perkembangan/kemajuan teknologi dan bahkan industrialisasi mengakibatkan munculnya situasi dan masalah sosial baru, munculnya kelas pekerja yang “tertakdir tertindas”, kaum buruh industri. Setelah revolusi kaum burgeois tahun 1789, tibalah revolusi baru, revolusi kaum buruh. Karl Marx dengan analisa sosialnya mencoba mengubah gagasan sejarah demi keselamatan-kesejahteraan manusia dengan janji perubahan radikal. Ia lupa bahwa akal budi memang bersifat unggul namun terbatas, demikian juga kehendak bebas selalu berpeluang menjadi hekendak bebas yang negatif dan liar. Kesalahan Marx justru pada gasan harapan manusia didasarkan pada materialisme (manusia tidak melulu hasil kondisi2 ekonomi, tidaklah mungkin menebus “firdaus yang hilang”  tanpa menciptakan lingkungan ekonomis berdasar pada kebebasan manusia dari yang jahat), SS 21.

            Harapan kristiani yang secara tradisional dikenal sebagai keutamaan teologal berbeda dari optimisme hidup, karena optimisme bersifat duniawi. Sikap hidup optimis seakan mengatakan bahwa asal punya sikap hidup yang optimis, dalam optimalisasi kemampuan akal budi dan kebebasan manusia, akan datang dengan sendirinya kebaikan bersama (nampaknya tersirat dalam gagasan politis demokrasi dan usaha manusia demi kesejahteraan manusia dalam gagasan pemerintahan demi “res publica”, republik). Keutamaan teologal harapan kristiani mau meyakinkan bahwa tidak dalam konteks kodrat manusialah harapan kristiani mengandalkan diri, tetapi justru dalam relasi dengan Allah. Harapan akan kebaikan/kesejahteraan hidup manusia menuntut syarat adanya keutamaan imanen, ialah menyadari kebenaran-kebenaran ilahi dalam diri manusia, yang pada gilirannya menggerakkan orang pada cinta kasih, di mana manusia sungguh menanggapi Kasih Ilahi, Allah sendiri.

 

Perwujudan sejati harapan kristiani.

            Apa yang dapat membuat kita berharap dan apa yang tidak bisa kita harapkan? Kemajuan kehidupan dan pengusahaan kesejahteraan manusia hanya mungkin diharapkan secara cepat dan signifikan dalam lingkup material. Sejauh2nya dan secepat2nya kemajuan sekalipun diusahakan supaya tetap dan berkelanjutan tidak dapat mengekang kebebasan manusia. Kesadaran etis dan pengambilan keputusan moral mengandaikan keputusan2 fundamental, setiap orang dan setiap generasi yang perlu dirumuskan secara baru menanggapi tantangan etis dan moral jaman. Khazanah moral kemanusiaan tidaklah siap serta merta bersamaan dengan penemuan2 hasil experimentasi akal budi dan kehendak bebas manusia. Karena itu (SS 24-31),

  1. Kesejahteraan moral dunia tidak pernah dijamin sekedar melalui struktur2 hasil rekayasa manusia. Struktur2 tetap penting tetapi tidak seharusnya mengabaikan kekebasan manusia untuk menentukan “nasib” dirinya sendiri.
  2. Manusia tetap mempunyai kebebasan yang sekaligus diakuinya sebagai yang rapuh. “kerajaan kebenaran” tidak akan pernah selesai didirikan di dunia ini. Kebebasan manusia secara tetap harus dilandaskan pada pencarian akan yang benar dan yang baik. Manusia tidak pernah dapat ditebus dari luar sekalipun oleh kemampuan ilmu pengetahuan, karya usaha manusia hasil budi daya akal budi dan kehendak bebas. Manusia hanya dapat ditebus oleh kekuatan kasih. Kasih Kristus yang menebus kita dan yang dapat memberi kepastian akan pemenuhan harapan hidup kita (“... tak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah dalam Kristus Yesus Tuhan kita.” Rm 8:38-39). Dengan tetap “memandang (kontemplasi) kasih Allah”, manusia di jaman modern ini tetap mengusahakan pemenuhan harapan kristiani yang mengandaikan pertobatan terus menerus yang berdampak dalam kehidupan yang baru dalam Kristus. St. Agustinus menggambarkan kehidupan yang baru dalam hidup sehari-hari sebagai: “Hidup yang kacau harus diluruskan, yang berhati lemah harus dihibur, yang lemah harus didukung, lawan2 Injil perlu disanggah dan perlu dijaga dari musuh2 dalam selimut, yang tak perpendidikan perlu diajar, yang malas digerakkan, yang ingin berbantahan perlu ditanggapi, yang berbangga harus diletakkan pada tempatnya, yang cekcok perlu diperdamaikan, yang membutuhkan perlu dibantu, yang terjajah dimerdekakan, yang baik didukung, yang buruk perlu ditoleransi, dan semua harus dikasihi” (Sermo 340).

 

Situasi-kondisi (Settings) belajar dan mempraktekkan harapan.

  • A.Doa sebagai sekolah harapan
    • Ketika tiada seorangpun yang membantu dalam kesendirian total berharap dengan kemampuan harapan yang mengatasi harapan manusiawi, Allah hadir. Doa pribadi sebagai pengalaman untuk menyerahkan diri kepada Allah yang dapat memenuhi harapan kita secara penuh (Pengalaman Cardinal Nguyen Van Thuan, Doa2 Harapan).
    • Agustinus menggambarkan secara indah relasi yang akrab antara doa dan harapan (Sermo 26), doa sebagai latihan kerinduan batin. Dalam doa kita belajar memurnikan keinginan, kerinduan, menjadi harapan akan kasih Allah yang memampukan kita untuk berharap, di tengah segala ketidakpantasan, kelemahan dan dosa kita. Melalui doa yang personal, akrab dengan Allah yang hidup kita terbuka untuk lebih berarti bagi yang lain (latihan harapan yang aktif), bukan lagi bagi diri sendiri (pasif).
    •  
  • B. Aksi dan penderitaaan sebagai situasi-kondisi untuk melatih harapan.
    • Semua usaha, aksi dan kegiatan untuk terbuka akan kebenaran sejati, akan kasih, akan aya yang baik perlu dilandasi akan kesadaran bahwa “kita bekerja bersama Allah”, Dia yang membawa keselamatan sejati (bdk 1 Kor 3:9; 1 Tes 3:2). Kalau tidak, maka mudah rentan akan kekecewaan, salah arah dan tak mempunyai daya yang menghidupinya. Demikian pengalaman iman para kudus Gereja. Bahkan untuk melatih harapan kristiani memerangi ketidakadilan, dosa sosial yang terstruktur dan tersistem, kita memerlukan Allah sebagai sumber harapan kita justru dalam penderitaan, sebagai konsekwensinya. Kekuatan kasih Allah yang dapat memberi con-solatio (bersama dengan yang lain dalam keheningan diri) sehingga si penderita dapat berkata ya terhadap cintakasih lebih dari sekedar menanggung beban atau bahkan mengerutu/mengutuki nasib penderitaan.
    •  
  • C. Penegasan baik-buruk (judgement) sebagai si-kon untuk mempelajari dan mempraktekkan harapan.
    • “Ia akan menghakimi/mengadili orang yang hidup dan yang mati” (Credo). Pada perspektif inilah harapan kristiani mengacu segala perjuangan hidup harian (penghakiman terakhir). Segala kegiatan kristiani sebenarnya adalah bentuk tanggungjawab atas anugerah hidup. Suatu dunia yang ditandai dengan maraknya ketidakadilan, penderitaan orang yang tak bersalah, sinisme atas penyalahgunaan kuasa tidaklah mungkin hasil kerja Allah yang Mahabaik, suatu persoalan theisme dan atheisme. Orang mengusahakan “kebaikan” dengan mengatasnamakan Allah, tetapi dengan cara “tidak baik”, persoalan theisme. Mengusahakan “kebaikan” dengan mengabaikan Allah sebagai sumber kebaikan, persoalan atheisme. Harapan kristiani tidak menjanjikan harapan yang palsu karena mengacu pada Allah yang adalah Hakim yang adil pada hari Penghakiman Terakhir. Yang jahat, pada akhirnya tidak duduk bersama dalam perjamuan abadi. Harapan kristiani mengandalkan diri pada pondasi yang kuat untuk menegaskan mana yang baik-buruk, yang baik-jahat, dengan resiko tidak kompromi dengan yang jahat (sistem dan struktur, terselubung, atau menekan), karena “... jika pekerjaan yang dibangun orang dengan tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan.” (1 Kor 3:14-15).

 

Bunda Maria sebagai Bintang Harapan Kristiani

            Teladan iman dan harapan menemukan sumber modelnya pada hidup Bunda Maria. Sejak Kabar Gembira Keselamatan-mendampingi Kristus Sang Putra dalam karya-keikutsertaan dalam jalan sengsara, wafatNya serta kebangkitan-sampai Perutusan Roh Kudus, Peristiwa Pentakosta dan selanjutnya sampai kini, Ia tetap Bunda Pengharapan kristiani di mana kita menemukan teladan hidup yang nyata.

Relevansi Spe Salvi bagi penghayatan imamat dewasa ini

  • [Diskusi interaktif] Sudah sejak Gaudium et Spes “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang2 jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” , harapan kristiani menjadi pokok renungan Gereja di tengah jaman modern ini. Di satu pihak, bagaimana imamat yang pada hekekatnya mau menyerupai Kristus Imam Agung (configuratio cum Christo) mempunyai pandangan yang kontemplatif akan kasih Allah yang menjadi dasar untuk mempunyai harapan kristiani menghadapi masalah2 diri sendiri, masalah umat, dan lingkungan hidup?

Di lain pihak, Bagaimana imamat hendaknya mempunyai/melatih hati yang berbela rasa (compassio) dengan orang se jamannya, jaman modern ini?

  • [Sharing] Situasi-kondisi apakah yang hendak anda sharingkan sebagai settings untuk mempelajari dan mempraktekkan harapan kristiani sebagai imam?
  • [Sharing] Kapasitas dan disposisi batin apakah yang anda terima sebagai anugerah hidup menghayati harapan kristiani dalam hidup imamat anda?

      “The priest’s role, therefore, is to be what the role of the religious functionary has always been-to be God’s man-to be the one others can turn to for care and love ...

         To be the man of God to whom others turn, to be the man whose relationships are  the most important in the world, to be the one who is held ex-officio to display models of friendship for others to imitate, may be terrifying, but is hardly dull. And if man turn away from the possibility of assuming such a role, it is not because there are not risk-takers in the human race-there still are-but because stupidity and apathy and inertia and stubbornness and immaturity have allowed the role to become obscured, dehumanized, and burried within the wall of the rectory. But the man of faith and hope is quite confident that the walls are going to come tumbling down.” (Fr. Andrew M. Greeley, Future to Hope In, pp. 266.276)

“Lord, grant me the serenity to accept the things I cannot change,the courage to change the things I can the wisdom to know the difference” (Reinhold Niebuhr)

 

Selamat mengucapkan janji setia imamat,

Berkat Tuhan,

 

+ Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono