Bapak Uskup, Para Romo, Biarawan-biarawati dan Insan Pastoral, yang terkasih:
Pada 10 April 2019 yang lalu, Situs resmi CNA (www.catholicnewsagency.com) memuat tulisan Paus Emeritus Benediktus XVI yang tidak diterbitkan secara publik. Berikut ini saya sampaikan terjemahan bebas yang dibantu penerjemahannya oleh Ibu Wuri Soedjatmiko dari Unika Widya Mandala Surabaya atas teks berjudul: 

'The Church and the scandal of sexual abuse' 

yang dapat diakses pada https://www.catholicnewsagency.com/news/full-text-of-benedict-xvi-the-church-and-the-scandal-of-sexual-abuse-59639 .
Semoga berguna bagi kita semua. Tuhan memberkati.

[RD. Ag. Tri Budi Utomo – Vikep Pastoral Keuskupan Surabaya, 22 April 2019]


Gereja dan Skandal Pelecehan Seksual

Atas undangan Paus Fransiskus, pada tanggal 21-24 Februari, para ketua Konperensi Uskup seluruh dunia berkumpul di Vatikan mendiskusikan krisis yang akhir-akhir ini terjadi yaitu krisis iman dan krisis Gereja; krisis yang mendunia setelah terbukanya kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak oleh para klerus.

Tidak sedikit imam dan juga awam yang merasa begitu terguncang oleh banyaknya dan seriusnya kejadian yang dilaporkan tersebut hingga kemudian mempertanyakan iman Gereja. Oleh karenanya perlu seruan pesan yang kuat, dan mengawali sesuatu yang baru yang akan mengembalikan kredibilitas Gereja sebagai terang di antara bangsa-bangsa dan sebagai kekuatan dalam pelayanan melawan kekuatan yang menghancurkan.

Karena saya sendiri telah berkarya dalam posisi sebagai gembala Gereja pada saat krisis ini menguak dalam masyarakat, dan ketika krisis itu berakumulasi. Walaupun sebagai emeritus saya tidak lagi secara langsung bertanggung jawab,  saya bertanya kepada diri sendiri apa yang dapat saya sumbangkan sebagai awal yang baru ini.

Karena itu, setelah pertemuan para Ketua Konperensi para uskup diumumkan, saya menyusun beberapa catatan yang dapat saya sumbangkan, satu atau dua  penjelasan yang sekiranya dapat membantu dalam saat-saat yang amat sulit ini.

Setelah mengontak Sekretaris Negara, Kardinal Pietro Parolin dan Bapa Suci  Paus Fransiskus sendiri, tidak keliru sekiranya teks ini diterbitkan di Klerusblatt (Bulanan bagi para Klerus di sebagian besar keuskupan- keuskupan Bavaria)

Tulisan saya ini saya bagi menjadi tiga bagian:

Dalam bagian pertama, saya bermaksud memaparkan secara singkat konteks sosial yang lebih luas dari permasalahan ini; tanpa konteks ini, dirasakan sulit untuk memahaminya. Saya mencoba menunjukkan bahwa di tahun 1960-an telah terjadi suatu kejadian yang amat buruk. Dapatlah dikatakan bahwa dalam 20 tahun dari 1960 hingga 1980, standar-standar normatif tentang seksualitas telah runtuh sama sekali, dan  muncullah ‘kenormalan’ baru (a new normalcy) yang sekarang menjadi gangguan yang berkepanjangan (the subject of laborious attempts at disruption).  

Dalam bagian kedua, saya bermaksud menunjukkan dampak situasi ini bagi formasi dan kehidupan para imam.

Akhirnya, dalam bagian ketiga, saya bermaksud untuk mengembangkan beberapa perspektif  bagi jawaban Gereja yang tepat terhadap problem ini.

 

I.

(1) Permasalahan dimulai dengan pengenalan akan seksualitas kepada anak-anak dan orang muda yang dirumuskan dan didukung oleh negara. Di Jerman, Menteri Kesehatan pada waktu itu, (Käte) Strobel, menyuruh pembuatan film pendidikan seks, termasuk tentang senggama seksual dan segala hal yang sebelumnya tabu, boleh dipertunjukkan demi pendidikan. Dengan demikian apa yang tadinya dimaksudkan sebagai pendidikan seksual bagi kaum muda, kemudian secara luas diterima sebagai suatu pilihan yang boleh dilakukan.

Dampak yang sama dihasilkan oleh “Sexkoffer” yang diterbitkan oleh pemerintah Austria (kontroversi tentang ‘paket-peraga’ materi-materi pendidikan seks yang dipakai di sekolah-sekolah Austria pada akhir tahun 1980-an). Film seksual dan pornografi kemudian menjadi hal yang biasa, dengan catatan telah lolos dari badan sensor teater (Bahnhofskinos).  Saya masih ingat, ketika berjalan di kota Regensburg suatu hari, banyak orang antre di depan sebuah gedung bioskop besar, suatu peristiwa yang hanya terlihat sebelumnya pada waktu perang saat ada maksud khusus. Saya juga teringat ketika tiba di kota pada hari Jumat Agung di tahun 1970 melihat sebuah billboard ditutup dengan poster besar dengan gambar dua orang telanjang yang saling berpelukan.

Di antara semua kebebasan yang diperjuangkan dalam Revolusi 1968 adalah kebebasan seksual total (all-out sexual freedom), lepaskan diri dari norma apapun.

Runtuhnya mental juga dihubungkan dengan kecenderungan akan kekerasan. Inilah sebabnya film seks tidak boleh dipertontonkan dalam pesawat udara karena kekerasan dapat saja meletus dalam komunitas kecil penumpang. Dan sejak pakaian pada saat itu juga sama-sama dianggap memicu terjadinya kekerasan, maka para kepala sekolah berusaha keras mengenalkan seragam sekolah yang bernuansa pembelajaran.

Bagian dari physiognomy (penampilan fisik) Revolusi ’68 adalah pedofilia yang kemudian diakui sebagai sesuatu yang diperbolehkan dan dapat diterima.

Bagi orang muda dalam Gereja, tapi tidak terbatas mereka saja, keadaan ini merupakan  masa yang amat sulit. Saya selalu terheran-heran bagaimana kaum muda dalam situasi ini berpikir tentang imamat dan menerima hal ini, dengan segala akibat-akibatnya.  Penurunan drastis panggilan imam pada tahun-tahun tersebut dan jumlah permohonan laisasi sangat besar (laicization : permohonan melepaskan status imamat untuk berubah menjadi awam) adalah akibat dari perkembangan ini.

 (2) Pada saat bersamaan, terpisah dari perkembangan ini, Teologi Moral Katolik mengidap suatu kemerosotan yang membuat Gereja tidak dapat memberikan pertahanan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Saya coba menggambarkan secara singkat jalan perkembangan tersebut.

Hingga Konsili Vatikan Kedua, teologi moral Katolik amat mendasarkan diri kepada hukum alam, sedangkan Kitab Suci hanya disitir sebagai latar belakang atau sekedar untuk mendasari (substantiation). Pergulatan Konsili demi pemahaman baru tentang Wahyu Ilahi, opsi hukum alam sudah banyak ditinggalkan, dan sungguh dituntut suatu teologi moral yang secara keseluruhan berdasarkan Injil.

Saya masih ingat sebuah komunitas Pendidikan Yesuit di Frankfurt menyiapkan seorang imam muda (Bruno Schüller) yang sangat berbakat dan pandai dengan tujuan mengembangkan moralitas yang hanya berdasar Kitab Suci.  Pater Schüller kemudian dikirim studi lanjut ke Amerika  dan kembali dengan menyadari bahwa dengan berdasar Injil melulu, moral tidak dapat diekspresikan secara sistematik. Ia kemudian mengembangkan teologi moral yang lebih pragmatik, tanpa dapat memberikan jawaban atas krisis moralitas. 

Pada akhirnya, hanya hipotesis bahwa moralitas harus ditentukan secara eksklusif atas tujuan tindakan manusia tersebut dilakukan. Sedangkan adagium lama “tujuan menghalalkan cara” tidak disetujui dalam paham ini, cara berpikirnyalah yang menentukan. Dengan demikian, tidak lagi ada sesuatu yang secara absolut dapat dikatakan baik, juga tidak ada perbuatan manusia yang disebut secara fundamental sebagai jahat,  yang ada hanya penilaian relatif.  Tidak ada nilai baik yang mutlak, yang ada hanya yang secara relatif lebih baik, bergantung pada  saat dan kondisi waktu itu (contingent on the moment and on circumstances).

Krisis penilaian dan paparan moral Katolik memuncak secara dramatis di tahun 80-an dan 90-an. “Deklarasi Cologne” ditandatangani oleh 15 profesor teologi Katolik diterbitkan. Teks ini terfokus pada relasi antara magisterium episkopal dan tugas teologi. (Reaksi terhadap) teks ini, yang pada awalnya tidak bermaksud sebagai protes, dengan segera berkembang menjadi kritik keras terhadap magisterium Gereja  dan bersama-sama, secara lisan dan tertulis, dengan potensi protes global terhadap hal yang menjadi teks doktrin Johanes Paulus II yang diharapkan (cf. D. Mieth, Kölner Erklärung, LThK, VI3, p. 196) [LTHK is the Lexikon für Theologie und Kirche, a German-language "Leksikon Teologi dan Gereja", dengan editor : Karl Rahner dan Kardinal Walter Kasper].

Paus Johanes Paulus II, yang amat tahu situasi teologi moral ini dan mengikuti terus dari dekat, secara khusus menerbitkan ensiklik yang akan membuat hal-hal ini diluruskan kembali. Teks tersebut diberi judul Veritatis Splendor pada tanggal 6 Agustus 1993, dan memancing reaksi balik yang keras pada bagian tema Teolog Moral. Sebelum itu, “Katekismus Gereja Katolik” secara persuasif mempresentasikan dengan sistematik moralitas sebagaimana diajarkan Gereja.

Saya tak akan pernah melupakan bagaimana ahli teologi moral Jerman Franz Böckle, yang setelah purna bhakti,  kembali ke negara asalnya, Swiss, menyatakan dengan melihat kemungkinan ditetapkannya  Veritatis splendor,  apabila ensiklik akan menetapkan bahwa ada tindakan-tindakan yang selalu, dan dalam segala kondisi, diklasifikasikan sebagai kejahatan, maka ia akan menantangnya dengan semua sumber yang ia miliki.

Allah yang Maharahim lah yang membantunya sehingga tidak perlu melaksanakan resolusi ini; Böckle wafat pada tanggal 8 Juli 1991. Ensiklik terbit tanggal 6 Agustus 1993 dan memang memuat ‘suatu determinasi bahwa ada perbuatan-perbuatan yang tidak pernah dapat menjadi perbuatan yang baik’.

Paus sepenuhnya sadar akan pentingnya keputusan ini untuk saat itu dan pada bagian teks ensiklik beliau, ia sekali lagi berkonsultasi dengan para ahli yang tidak terlibat dalam pengeditan ensiklik tersebut. Ia tahu bahwa ia tidak boleh menyisakan suatu keraguan tentang fakta bahwa kalkulus moral yang terlibat dalam membuat hal-hal baik menjadi seimbang harus menghargai adanya keterbatasan atas tujuan (the moral calculus involved in balancing goods must respect a final limit). Ada hal baik yang tidak tunduk pada mekanisme ‘trade-offs’[1].

Ada nilai-nilai yang tidak boleh dibuang untuk nilai yang lebih besar, dan bahkan demi menyelamatkan kehidupan fisik sekalipun. Kemartiran memang ada. Allah jauh lebih besar dari sekedar keselamatan fisik. Kehidupan yang hendak dibeli dengan menolak Allah, adalah suatu kehidupan yang berdasarkan tujuan palsu, bukanlah kehidupan.

Kemartiran adalah kategori dasar eksistensi Kristiani. Fakta bahwa kemartiran tidak lagi diperlukan secara moral dalam teori yang diyakini Böckle dan lain-lain menunjukkan bahwa esensi Kristiani dipertaruhkan di sini.

Dalam teologi moral, bagaimana pun, permasalahan lain yang timbul: hipotesis bahwa Magisterium Gereja harus memiliki kompetensi final (infallibility: tidak dapat salah) hanya dalam hal berkaitan dengan iman mendapatkan penerimaan menyeluruh; (dalam perspektif ini) masalah moral tidak seharusnya berada dalam lingkup keputusan infalibilitas Magisterium Gereja.  Mungkin hipotesis ini ada benarnya dan memerlukan diskusi lebih lanjut. Tapi ada hal-hal serangkaian moral yang tidak dapat diperdebatkan  terkait dengan prinsip dasar iman dan harus dipertahankan apabila iman tidak mau dikurangi menjadi teori tapi diakui dalam klaimnya atas kehidupan nyata.

Semua ini menjadi nyata bagaimana secara mendasar otoritas Gereja dalam hal-hal moral dipertanyakan. Mereka yang menolak kompetensi final Gereja dalam area ini dipaksa tinggal diam terutama apabila batasan antara benar dan salah dipertaruhkan.

Permasalahan ini secara terpisah, dalam banyak kalangan teologi moral, suatu hipotesis diuraikan secara rinci bahwa Gereja tidak dan tidak boleh mempunyai moralitasnya sendiri. Argumen bahwa semua hipotesis moral akan dikenal  paralelnya dalam agama-agama lain dan karena itu moral khas milik Kristiani tidak ada. Namun permasalahan karakteristik moral biblis yang unik tidak dijawab dengan kenyataan bahwa  tidak setiap kalimat terdapat paralelnya dalam agama lain.  Sebaliknya, ini hal tentang keseluruhan moralitas biblis, yang adalah dari dirinya baru dan berbeda dari topik permasalahan per bagian.

Doktrin moral Kitab Suci memiliki keunikan yang pada akhirnya didasarkan pada citra Allah, dalam iman akan satu Allah yang menampilkan diriNya dalam Yesus Kristus yang hidup sebagai manusia. Sepuluh Perintah Allah adalah perwujudan iman biblis akan Allah dalam hidup manusia. Citra Allah dan moralitas merupakan kesatuan dan menghasilkan perubahan khusus sikap Kristiani terhadap dunia dan kehidupan manusia. Apalagi, Kristianitas dari semula digambarkan dengan kata hodós (Yunani,  jalan, dalam Perjanjian Baru sering disebut sebagai jalan maju)

Iman adalah suatu peziarahan dan suatu cara hidup. Dalam Gereja lama, katekumenat diciptakan sebagai suatu habitat melawan budaya yang makin merusak moral, dengan mempraktikkan aspek cara hidup Kristiani yang beda dan baru, yang pada saat bersamaan melindunginya dari cara hidup pada umumnya. Saya pikir terutama sekarang komunitas katekumenat ini diperlukan agar kehidupan Kristiani dapat menegaskan dengan caranya sendiri.

 

II. Reaksi Awal Gereja

(1) Proses buyarnya konsep moralitas Kristiani yang telah berlangsung lama, sebagaimana saya telah coba menunjukkannya, ditandai dengan radikalisme yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun 1960-an. Pengabaian  otoritas pengajaran moral Gereja niscaya berdampak luas di berbagai area Gerejawi. Dalam konteks konperensi para uskup sedunia bersama Paus Fransiskus, permasalahan kehidupan para imam dan seminari mendapat  perhatian khusus. Sehubungan dengan masalah persiapan untuk pelayanan imamat di seminari, terjadi kerusakan pada bentuk persiapan jauh sebelumnya.

(2) Kelompok-kelompok homoseksual terbentuk di berbagai seminari, lebih kurang secara terbuka dan secara signifikan mengubah iklim seminari. Di sebuah seminari di Jerman Selatan, calon imam dan calon  pelayan spesialis pastoral awam tinggal bersama-sama. Pada waktu makan bersama, awam yang menikah didampingi istri dan anak-anaknya, dan yang lain kadang-kadang dengan pacarnya. Suasana di seminari tidak mendukung panggilan sebagai imam. Tahta Suci mengetahui permasalahan ini, tanpa diberitahu secara benar. Sebagai langkah pertama, Kunjungan Apostolik dilakukan ke seminari-seminari di Amerika Serikat.

Juga karena criteria pemilihan dan pengangkatan uskup-uskup juga berubah sejak Konsili Vatikan II, relasi antara uskup dan para calon imam juga sangat berbeda. Di atas segalanya, pemilihan uskup baru sekarang adalah berdasarkan “konsiliaritas” yang tentu saja dapat dimaknai secara lain.

Tidak diragukan  bahwa dalam banyak bagian Gereja, sikap konsiliar diartikan mempunyai sikap kritis atau negatif terhadap tradisi yang sampai sekarang tetap ada, yang sekarang digantikan oleh yang baru, hubungan yang secara radikal terbuka dengan dunia. Seorang uskup yang pernah menjadi rektor seminari, menyelenggarakan acara nonton film-film pornografi kepada calon imam, dengan tujuan agar mereka tangguh terhadap perilaku yang melawan iman.

Dan tidak hanya di USA, ada individu uskup yang menolak tradisi secara keseluruhan dan membawa semacam “Katolisitas modern” ke dalam keuskupannya. Mungkin perlu disebutkan bahwa tidak sedikit seminari, mahasiswa yang ketahuan membaca buku saya dianggap kurang pantas untuk imamat. Buku-buku saya disembunyikan seperti halnya buku sastra buruk, dan hanya dibaca di bawah meja.

Kunjungan yang sekarang terjadi tidak membawa pemikiran baru, mungkin karena berbagai kekuasaan telah bekerjasama untuk menyembunyikan situasi yang sebenarnya. Kunjungan kedua diperintahkan dan membawa beberapa pandangan, tapi secara keseluruhan gagal untuk mendapat masukan yang dibutuhkan.  Bagaimana pun, sejak 1970-an, situasi seminari secara umum menjadi lebih baik. Namun, hanya  sedikit kasus penguatan panggilan imamat terjadi karena situasi keseluruhan telah berubah secara berbeda.

Permasalahan pedofilia, seingat saya, tidak meruncing hingga paruh kedua tahun 1980-an. Dalam waktu itu, masalah ini menjadi terbuka di USA  sedemikian sehingga uskup-uskup di Roma memohon pertolongan, karena Hukum Gereja, sebagaimana diperbaharui (1983), tidak cukup kuat untuk menghadapi masalah ini.

Roma dan ahli Hukum Gereja Roma pada awalnya mengalami kesulitan menghadapi masalah ini; dalam pikiran mereka Suspensi Temporer dari tugas imamat sudah cukup membersihkan dan menjelaskan. Hal ini tidak dapat diterima oleh uskup-uskup Amerika karena imam-imam yang demikian masih di bawah pelayanan Uskup, dan karena itu dapat dianggap langsung sebagai tanggungjawabnya. Hanya secara pelahan, pembaruan dan pendalaman hukum pidana, yang tadinya disusun secara longgar, mulai terbentuk dengan benar.

Lagipula, bagaimana pun, ada masalah fundamental dalam persepsi tentang hukum pidana. Hanya guarantorism (sejenis prosedur jaminan perlindungan),  dianggap sebagai “conciliar”. Ini berarti bahwa di atas semuanya, hak terdakwa harus dijamin, sampai pada tingkat yang secara faktual menyingkirkan hukuman sama sekali. Sebagai penyeimbang terhadap pilihan-pilihan pembelaan yang sering tidak memadai yang tersedia bagi para teolog yang dituduh, hak mereka untuk bertahan melalui penjaminan diperpanjang sampai sedemikian rupa sehingga hukuman tidak dilakukan.

Izinkan saya sedikit menyimpang sejenak pada titik ini. Mengingat skala pelanggaran pedofilia, sebuah perkataan Yesus sekali lagi menjadi perhatian, yang mengatakan: "Siapa pun yang menyebabkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada saya untuk berdosa, akan lebih baik baginya jika batu kilangan besar digantung di sekeliling lehernya dan dia dilemparkan ke laut "(Markus 9:42).

Frasa “anak-anak kecil” dalam bahasa Yesus berarti bagi umat yang percaya yang dapat disesatkan imannya oleh arogansi intelektual mereka yang merasa dirinya pandai.  Jadi Yesus di sini menyelamatkan iman dengan ancaman hukuman yang keras bagi yang mencelakakan.

Penggunaan secara modern atas kalimat tersebut memang tidak sepenuhnya salah, tetapi makna sebenarnya tidak boleh dikaburkan. Dalam makna tersebut, menjadi jelas, bahwa terhadap sembarang penjaminan, bukan hanya garansi perlindungan terhadap hak tertuduh. Demikian juga kebaikan besar seperti halnya Iman juga sama pentingnya untuk mendapatkan jaminan perlindungan . 

Hukum Gereja yang seimbang yang sesuai dengan pesan Yesus karenanya seharusnya bukan hanya memberikan jaminan bagi tertuduh,  respek terhadap penerapan kesahihan hukum. Hukum harus juga melindungi Iman, yang merupakan asset hukum yang penting. Hukum kanon yang ditulis dengan baik karenanya harus berisi jaminan ganda : jaminan hukum bagi tertuduh, dan perlindungan hukum terhadap kebaikan yang sedang dipertaruhkan. Jika hari ini seseorang mengemukakan konsep yang secara inheren jelas ini, seseorang pada umumnya mengabaikan  ketika masuk ke masalah perlindungan Iman sebagai aspek legal. Dalam kesadaran umum akan hukum, Iman tampaknya tidak lagi memiliki kedudukan sebagai sesuatu yang membutuhkan perlindungan. Ini adalah situasi yang mengkhawatirkan yang harus dipertimbangkan dan ditanggapi dengan serius oleh para gembala Gereja.

Saya ingin menambahkan, kepada catatan singkat masalah formasi imam pada saat krisis ini menjadi mencuat di masyarakat, beberapa komentar mengenai pengembangan Hukum Gereja dalam masalah ini.

Pada prinsipnya, Kongregasi Klerus bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh para imam. Namun karena sistem penjaminan sangat mendominasi situasi pada saat itu, saya setuju dengan Paus Johanes Paulus II bahwa sudah tepat menugaskan Kongregasi Doktrin Iman   untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, dengan judul Delicta maiora contra fidem.

Penataan ini memungkinkan diberikannya hukuman maksimal, misalnya, dipecat  dari imamat, yang tidak mungkin dapat diberikan di bawah hukum lain. Ini bukan suatu siasat untuk memberi hukuman maksimal, tetapi suatu kosekuensi terhadap pentingnya Iman bagi Gereja. Sesungguhnya, penting sekali melihat bahwa perbuatan salah oleh klerus tersebut telah merusak Iman.

Hanya  ketika Iman sudah tidak lagi menjadi ukuran perbuatan seseorang, maka kejahatan seperti ini bisa terjadi.

Beratnya hukuman, bagaimana pun, juga mengandaikan bukti yang jelas tentang pelanggaran - aspek guarantorism tetap berlaku.

Dengan kata lain, agar hukuman maksimum diberikan dengan benar secara hukum, dibutuhkan ada proses pidana yang benar.

 

III.

(1) Apa yang harus dilakukan? Barangkali kita mau membangun Gereja lain agar beberapa hal dapat menyelesaikannya? Yah, esperimen seperti ini sudah pernah dilakukan dan terbukti gagal. Hanya ketaatan dan kasih kepada Tuhan Yesus Kristus yang dapat menunjukkan jalan. Jadi marilah kita coba memahami sesuatu yang baru dan dari dalam (diri sendiri) apa yang dikehendaki Tuhan dan yang diinginkanNya bersama kita.

Pertama-tama, saya menyarankan sbb.: Apabila kita mau merangkum secara amat singkat isi Iman sebagaimana telah dinyatakan dalam Injil, kiranya kita melakukannya dengan mengatakan, bahwa Tuhan sudah memulai sebuah kisah cinta dengan kita dan ingin melibatkan semua ciptaan ke dalamnya. Kekuatan menangkal kejahatan yang mengancam kita dan seluruh dunia, pada akhirnya hanya bisa terjadi dengan kita masuk ke dalam cinta ini. Inilah kekuatan nyata melawan kejahatan. Kuasa kejahatan muncul dari penolakan kita akan cinta Allah. Ia yang menyerahkan diri kepada cinta Allah diselamatkan. Keadaan tidak diselamatkan adalah karena kita tidak mampu  mencintai Allah. Belajar mencintai Allah karenanya merupakan jalan penebusan manusia.

Mari kita coba sedikit lagi membuka isi utama wahyu Allah. Kita mungkin akan berkata bahwa karunia utama dan pertama adalah bahwa Iman menawarkan kepada kita kepastian bahwa Allah ada.

Dunia tanpa Allah hanya merupakan dunia tanpa makna. Sebab dari mana segala sesuatunya datang? Dalam hal mana pun, tujuan spiritualnya kosong. Dunia hanya sekedar ada dan tidak punya tujuan maupun makna. Tidak juga ada standar akan baik atau buruk. Kebenaran tidak diperhitungkan, karena tidak ada. Hanya apabila ada alasan spiritual, dikehendaki dan direncanakan—hanya apabila di sana ada Allah Pencipta yang baik dan menghendaki kebaikan—kehidupan manusia punya arti.

Hanya apabila di sana ada Allah sebagai pencipta dan sebagai ukuran pertama-tama bagi semua makhluk dan terutama merupakan ukuran atas kebutuhan awali.

Tetapi Allah yang tidak pernah menyatakan diri sama sekali, yang tidak membuat DiriNya diketahui, akan tinggal asumsi dan karenanya tidak menentukan bentuk (Gestalt) hidup kita. Karena Allah adalah  benar-benar Allah yang menghendaki ciptaan, maka kita harus memandang kepadaNya yang  mengekspresikan Diri-Nya dalam suatu cara. Dan Ia telah melakukanNya beberapa kali, tetapi yang sangat jelas adalah dalam panggilan kepada Abraham dan memberikan kepada orang yang mencariNya orientasi yang memimpin mereka melampaui segala pengharapan: Allah sendiri menjadi makluk, berbicara sebagai manusia kepada kita umat manusia.

Dengan cara ini, ungkapan “Allah ada” akhirnya menjadi pesan yang memberikan sukacita. Ia melebihi pemahaman, karena Ia mencipta—dan adalah—kasih. Untuk sekali lagi membawa manusia sadar bahwa hal ini merupakan tugas pertama dan utama yang dipercayakan kepada kita oleh Tuhan.

Masyarakat tanpa Allah—masyarakat yang tidak mengenal Dia dan memperlakukan Dia sebagai tidak-ada—adalah masyarakat yang kehilangan ukuran. Pada masa ini, dikenal slogan kematian Allah. Apabila Allah memang mati dalam suatu masyarakat, kita diyakinkan bahwa kita bebas. Pada kenyataannya, kematian  Allah dalam sebuah masyarakat berarti juga akhir kebebasan karena yang mati adalah tujuan yang memberikan arah. Dan karena kompas itu hilang, hilang pula  ajaran yang mengajarkan seseorang untuk membedakan yang baik dari yang jahat. Masyarakat Barat merupakan masyarakat yang menganggap Tuhan tidak hadir di ranah publik, dan karenanya tak ada lagi yang tersisa untuk dilakukan padaNya. Dan itulah sebabnya mengapa ini merupakan masyarakat di mana ukuran kemanusiaan semakin lenyap. Di tataran individu hal ini menjadi makin jelas bahwa kejahatan  dan penghancuran manusia menjadi sesuatu hal yang lumrah.

Inilah yang terjadi dengan kasus pedofilia.  Beberapa waktu yang lalu,  pedofilia diteorikan sekedar  sebagai suatu yang legal, pada kenyataannya lambat laun menyebar ke mana-mana. Dan sekarang kami sungguh ‘shock’ bahwa hal ini terjadi pada anak-anak dan kaum muda kita, yang mengancam akan menghancurkan mereka. Dan kenyataan bahwa hal ini dapat menjalar ke dalam Gereja dan di antara para imam, ini sungguh menjadi masalah yang menggocangkan.

Mengapa pedofilia dapat mencapai proporsi yang begitu besar? Ujung-ujungnya adalah karena tidak hadirnya Allah. Kita, orang Kristen dan para imam juga, lebih suka tidak lagi membicarakan Allah karena pembicaraan seperti ini tampaknya tidak praktis. Setelah meletusnya Perang Dunia II, kami di Jerman bahwa mengakui Undang-Undang sebagai prinsip penuntun untuk bertanggungjawab kepada Allah. Setengah abad kemudian, dalam Undang-Undang di  Eropa tidaklah mungkin lagi memasukkan prinsip bertanggung jawab kepada Allah. Allah dianggap hanya milik sekelompok kecil dan tidak lagi menaungi semua dari kami. Keputusan ini menggambarkan situasi Barat yang menempatkan Allah sekedar sebagai urusan pribadi kaum minoritas.

Suatu tugas besar, yang ditarik dari meledaknya krisis moral masa kini, adalah bahwa kita sendiri harus mulai hidup bersama Allah dan menuju kepada Allah. Di atas segalanya, kita sendiri harus mengakui kembali Allah sebagai dasar hidup kita dan bukannya meninggalkanNya sebagai suatu frase yang tidak efektif. Saya tidak pernah melupakan peringatan ahli teologi Hans Urs von Balthasar yang pernah menulis kepada saya di salah satu kartu yang dikirimkannya. “Jangan berandai-andai tentang Allah Tritunggal, Bapa, Putera dan Roh Kudus, tetapi hadirkan!”

Tentu saja, dalam teologi, Allah seringkali dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, tetapi secara konkret teolog tidak berhubungan dengan Dia. Tema Allah tampak tidak nyata, begitu jauh tersingkir dari perhatian kita. Padahal, akan menjadi sangat berbeda apabila seseorang tidak berandai-andai  namun menghadirkan Allah. Bukan dengan meletakkan Allah di latar belakang, tetapi mengenali-Nya sebagai pusat dari pikiran, kata-kata dan perbuatan kita.

 (2) Allah menjadi manusia bagi kita. Manusia sebagai ciptaanNya  begitu dekat dengan hatiNya sehingga Ia menyatukan diriNya dengan dia sendiri dan dengan demikian secara nyata memasuki sejarah manusia. Ia berbicara dengan kita, Ia menderita dengan kita dan Ia membuat diriNya mati untuk kita. Kita membicarakan hal ini secera detil dalam teologi, dengan kata-kata dan pikiran lugas. Tapi dengan begini kita juga berisiko menjadi pakar iman ketimbang diperbaharui dan dipimpin oleh iman.

Mari kita lihat hal ini dan menhubungkannya dengan isyu sentral, perayaan Ekaristi Kudus. Cara kita memperlakukan Ekaristi juga memancing keprihatinan. Konsili Vatikan II segera memfokuskan untuk mengembalikan sakramen akan Kehadiran Tubuh dan Darah Kristus, akan kehadiran Pribadi-Nya, akan PenderitaanNya, Wafat  dan Kebangkitan sebagai pusat kehidupan Kristiani dan kehadiran nyata Gereja. Sebagian, inilah yang terjadi dan kita bersyukur kepada Tuhan untuk ini.

Kenyataannya agak berbeda, yang banyak terjadi hal ini malah bukannya menimbulkan penghormatan akan kehadiran, wafat dan kebangkitan kristus, tapi justru menghancurkan keagungan Misteri tersebut.  Makin sedikitnya orang yang berpartisipasi dalam Ekaristi hari Minggu menunjukkan betapa sedikit umat Kristiani yang mensyukuri keagungan karunia yang ada dalam KehadiranNya yang nyata (realis praesentia). Terjadi pendevaluasian nilai Ekaristi menjadi sekedar  perbuatan seremonial bahwa tata cara lah yang mengharuskan Dia dipersembahkan seperti itu dalam acara dan selebrasi keluarga seperti perkawinan dan pemakaman kepada mereka yang diundang karena alasan keluarga.

Cara umat menerima Sakramen Mahakudus dalam komuni sebagai hal yang lumrah menunjukkan bahwa banyak orang melihat penerimaan komuni sebagai melulu suatu tindakan seremonial. Karena itu, ketika kita berpikir mengenai apa yang harus kita perbuat bukan mendirikan Gereja baru yang kita desain sendiri. Sebaliknya, yang dibutuhkan pertama-tama dan paling penting adalah pembaharuan Iman akan Realitas Yesus Kristus yang diberikan kepada kita dalam Sakramen Mahakudus.

Dalam bincang-bincang dengan korban pedofilia,  saya makin yakin akan tuntutan utama ini. Seorang perempuan muda yang (dulu) menjadi puteri altar bercerita kepada saya, bahwa kapelan, atasannya di kelompok putera altar, selalu memulai pelecehan seksual yang dilakukan terhadapnya dengan kata-kata, “Inilah tubuhku yang diberikan kepadamu.”

Jelas sekali perempuan ini tidak lagi pernah dapat mendengar kata-kata konsekrasi tanpa mengulang kembali pengalaman mengerikan yang membuatnya begitu tertekan oleh pelecehan tersebut. Ya, kita harus segera mohon pengampunan dari Tuhan, dan pertama-tama serta terutama kita harus bersumpah dalam Dia dan mohon kepadaNya untuk mengajar kita agar kita memahami keagungan penderitaanNya, pengorbananNya. Dan kita harus menjaga semampu kita Ekaristi Kudus dari pelecehan.

(3) Pada akhirnya, tentang Misteri Gereja. Kalimat yang diucapkan Romano Guardini hampir 100 tahun yang lalu, yang diungkapkan dengan harapan penuh sukacita, mereka yang pernah tinggal bersama dia dan orang-orang lain tidak pernah dilupakan:  “Suatu peristiwa yang amat sangat penting telah dimulai. Gereja sedang bangkit dalam roh.”

Maksudnya ia berkata bahwa Gereja tidak lagi dihayati dan ditangkap sebagai sebuah sistem dari luar yang masuk ke dalam kehidupan kita, sebagai suatu otoritas, tapi Gereja mulai dianggap sebagai hadir dalam hati kita—sebagai sesuatu yang menggerakkan kita dari dalam dan bukan dari luar. Setengah abad kemudian, dengan adanya proses ini dan melihat apa yang telah terjadi, saya merasa tergoda untuk membalik kalimat menjadi: “Gereja sedang sekarat dalam roh.”

Sungguh, Gereja hari ini secara luas dianggap hanya semacam alat politik. Orang bicara tentang Gereja dengan kategori politik, dan ini juga terjadi dengan para uskup, yang merumuskan konsep tentang gereja masa depan hampir secara ekslusif dengan istilah-istilah politik. Krisis yang terjadi karena banyak kasus pelecehan oleh klerus menuntut kita melihat Gereja sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima, yang sekarang harus kita terima dalam tangan kita dan didesain ulang. Tapi sebuah Gereja yang kita buat sendiri tidak dapat menjanjikan harapan.

Yesus sendiri mengumpamakan Gereja dengan jala ikan, dan Allah sendirilah yang pada akhirnya memisahkan ikan baik dari yang busuk. Ada juga perumpamaan tentang Gereja sebagai ladang; benih baik ditaburkan Allah sendiri, tetapi “musuh” dengan sembunyi-sembunyi menaburkan ilalang. Sungguh, ilalang dalam ladang Allah, Gereja, tampak nyata, dan ikan busuk dalam jala  juga menunjukkan kekuatannya.  Namun ladang itu masih milik Allah dan demikian juga jala ikan. Memproklamirkan keduanya dengan penekanan bukanlah bentuk apologetika yang salah, tetapi pelayanan yang diperlukan untuk Kebenaran.

Dalam konteks ini perlu dirujuk suatu teks penting dari Kitab Wahyu dari Santo Yohanes. Setan diidentifikasikan sebagai penuduh yang mendakwa saudara-saudara kita siang dan malam di hadapan Allah (Wahyu 12:10). Wahyu Yohanes mengambil pemikiran ini dari Ayub (Ayub 1 dan 2,10; 42:7-16). Dalam buku tersebut, setan berusaha menjatuhkan Ayub di depan Allah bahwa kebaikannya hanya di luar saja. Dan begitulah apa yang dikatakan dalam Kitab Wahyu: Setan bermaksud membuktikan bahwa tidak ada orang benar; bahwa semua orang baik hanya menunjukkan kebaikan di sebelah luar saja. Apabila seseorang bisa mendekati maka cepatlah penampilan luar ini rontok.

Kisah Ayub bermula dengan persengketaan antara Allah dan setan mengenai Ayub sebagai orang benar. Ia dipakai sebagai contoh untuk diuji kebenarannya. Apabila semua miliknya diambil maka tak ada lagi kesucian terlihat padanya, demilian kata setan. Allah mengizinkan Ayub diuji, dan Ayub tetap menunjukkan kebaikan dirinya.   "Kulit ganti kulit! Orang akan memberikan segala yang dipunyainya sebagai ganti nyawanya. Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah tulang dan dagingnya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu."

Allah memberi setan kesempatan kedua. Setan malah boleh menyentuh kulit Ayub, hanya tidak boleh membunuhnya.Bagi umat Kristiani sudah jelas bahwa Ayub, yang berdiri di kadapan Allah sebagai contoh di depan semua umat manusia, adalah Yesus sendiri. Dalam Kitab Wahyu Yohanes, drama kemanusiaan ini dipresentasikan kepada kita secara jelas.

Allah sang Pencipta dilawankan dengan setan yang berbicara jelek tentang manusia dan semua ciptaan, bukan hanya kepada Allah tetapi kepada semua manusia: Lihat apa yang diperbuat oleh Allah ini. Diandaikan ciptaan-Nya baik, tapi dalam kenyataan penuh dengan misteri dan memuakkan. Mengecilkan makna ciptaan sesungguhnya berarti mengecilkan Allah dan bahwa Allah tidak baik, dan karenanya bisa mengajak kita meninggalkan Allah.

Apa yang dikisahkan dalam Kitab Wahyu ini sungguh jelas. Pada saat ini, tuduhan terhadap Allah, terutama tentang karakteristik Gereja sungguh jelek, dan karenanya membuat kita meninggalkannya. Gagasan akan sebuah Gereja yang lebih baik, dibuat oleh kita sendiri, adalah usulan setan, dengan mana ia akan membawa kita meninggalkan Allah yang hidup, melalui logika keliru yang begitu mudah menipu kita. Tidak, Gereja ini tidak terdiri hanya dari ikan busuk dan ilalang. Gereja Allah sungguh ada sekarang, dan pada saat ini sungguh sungguh sebagai alat yang dipakai Allah menyelamatkan kita.

Sangat penting bagi kita untuk dengan kebenaran sejati menentang kebohongan dan kebenaran palsu setan: Ya, memang dosa ada dalam Gereja dan kejahatan. Tetapi sekarang pun ada Gereja Kudus, yang tidak dapat dikoyak. Pada saat ini, banyak orang yang dengan rendah hati percaya, menderita dan mencintai, yang melalui dia ada Allah yang benar, Allah yang hidup, yang menunjukkan Diri-Nya kepada kita. Saat ini Allah juga memiliki saksi-saksi (para martir) di dunia. Kita hanya perlu membuka mata agar dapat melihat dan mendengar mereka.

Kata martir diambil dari istilah hukum pengadilan.  Ketika Yesus Kristus dicobai setan, Ia adalah saksi pertama dan utama di hadapan Allah, martir pertama, yang sejak itu diikuti oleh tak terhitung banyaknya martir lainnya.

Gereja pada hari-hari ini, lebih dari sebelumnya, merupakan “Gereja para Martir: dan karenanya saksi bagi Allah yang hidup. Bila kita melihat ke sekeliling dan mendengarkan dengan hati terbuka, kita dapat menemukan saksi-saksi di mana-mana, khususnya di antara orang biasa, tetapi juga di antara pejabat Gereja, yang mendukung Allah dengan hidup dan penderitaan mereka, dan terutama, menemukan dan mengenali mereka.

Saya hidup dalam sebuah rumah, dalam komunitas kecil orang-orang yang berkali-kali  menemukan saksi-saksi  dalam keseharian mereka yang menguatkan kita dan membuat kita penuh sukacita dalam Iman.

Pada akhir refleksi saya ini, saya hendak menyampaikan terima kasih kepada Paus Fransiskus atas  segala sesuatu yang berkali-kali ia tunjukkan, terang Allah, yang belum pernah sirna, bahkan pada masa ini. Terima kasih, Bapa Suci!

--Benedict XVI
 

 


[1] Catatan penerjemah: istilah trade-offs adalah suatu situasi di mana seseorang menyeimbangkan suatu pilihan atas dua kenyataan kontradiktif yang mesti diterima, di mana seseorang harus menerima kenyataan yang buruk (tidak baik/benar) untuk mendapatkan apa yang baik.