KATA PENGANTAR DARI BAPA SUCI FRANSISKUS

“Pewartaan Kristiani tentang keluarga merupakan kabar yang sungguh menggembirakan” (Amoris Laetitia, 1). Pernyataan Hasil Akhir Sinode Para Uskup ini layak dicantumkan dalam pembukaan Seruan Apostolik Amoris Laetitia. Karena Gereja, di setiap zaman, dipanggil untuk mewartakan kembali, terutama kepada kaum muda, keindahan dan kelimpahan rahmat yang terkandung dalam sakramen perkawinan dan dalam kehidupan keluarga yang muncul darinya. Lima tahun setelah diterbitkannya, Tahun “Sukacita Cinta Keluarga” dimaksudkan untuk  menempatkan keluarga sebagai pusat berefleksi tentang tema-tema Seruan Apostolik dan menghidupkan seluruh Gereja dalam karya sukacita penginjilan bagi keluarga dan bersama keluarga.

Salah satu buah dari tahun istimewa ini adalah “Perjalanan Katekumenal Menuju Hidup Perkawinan” yang sekarang ini dengan senang hati saya percayakan kepada para gembala, pasangan  suami-istri dan semua orang yang bekerja dalam pastoral keluarga. Buku ini adalah sarana pastoral yang disiapkan oleh Dikasteri untuk Awam, Keluarga dan Kehidupan, mengikuti arahan yang telah berulang kali saya ungkapkan, yaitu  perlunya “masa katekumenat baru” dalam persiapan perkawinan; sebenarnya,  sangat mendesak untuk menerapkan secara konkret apa yang telah diusulkan dalam Familiaris Consortio (n. 66), yaitu, seperti dalam Baptisan orang dewasa, masa katekumenat menjadi bagian dari proses sakramental, sehingga persiapan untuk Perkawinan juga menjadi bagian integral dari keseluruhan tata cara sakramental perkawinan, sebagai penangkal yang mencegah berlipat gandanya perayaan perkawinan yang batal atau tidak konsisten (Pidato Paus kepada Tribunal Rota Roma, 21 Januari 2017).

Muncul kekhawatiran serius akan kenyataan di mana dengan persiapan yang terlalu dangkal, pasangan menghadapi risiko nyata batalnya perayaan perkawinan atau dengan pondasi yang rapuh seperti itu, perkawinan akan “roboh” dalam waktu singkat dan tidak mampu menghadapi bahkan krisis pertama yang tak terelakkan. Kegagalan ini membawa penderitaan besar dan meninggalkan luka mendalam pada diri orang. Mereka berada dalam kekecewaan, sakit hati dan, dalam kasus yang paling menyakitkan, mereka bahkan akhirnya tidak lagi percaya pada panggilan untuk mencintai, yang ditempatkan oleh Allah sendiri di dalam hati manusia. Oleh karena itu, adalah kewajiban utama untuk mereka yang menyatakan niat untuk bersatu dalam perkawinan dengan rasa tanggung jawab, sehingga mereka terlindungi dari trauma perpisahan dan tidak pernah kehilangan kepercayaan akan cinta.

Namun ada juga rasa keadilan yang harus menjiwai kita. Gereja adalah seorang ibu, dan seorang ibu tidak membuat pembedaan di antara anak-anaknya. Dia tidak memperlakukan mereka secara berbeda, dia memberikan perawatan yang sama, perhatian yang sama, waktu yang sama untuk semua orang. Membaktikan waktu adalah tanda cinta: jika kita tidak membaktikan waktu untuk seseorang itu tandanya kita tidak mencintai mereka. Hal ini sering muncul di benak saya ketika saya berpikir bahwa Gereja memberikan banyak waktu, beberapa tahun, mempersiapkan calon imam atau religius, tetapi Gereja memberi sedikit waktu, hanya beberapa minggu, bagi mereka yang mempersiapkan perkawinan. Seperti para imam dan orang-orang yang ditahbiskan, pasangan juga adalah anak-anak dari Bunda Gereja, dan perbedaan perlakuan yang sedemikian besar tidaklah benar. Pasangan suami-istri merupakan mayoritas umat beriman, dan sering menjadi pilar di paroki, kelompok relawan, asosiasi dan gerakan. Mereka adalah “penjaga kehidupan” yang nyata, bukan hanya karena mereka melahirkan anak, mendidik mereka dan menemani mereka dalam pertumbuhan mereka, tetapi juga karena mereka merawat orang tua dalam keluarga, membaktikan diri untuk melayani para penyandang cacat dan seringkali bersentuhan dengan banyak situasi kemiskinan. Panggilan imamat dan hidup bakti lahir dari keluarga; dan keluargalah yang membentuk jalinan masyarakat dan “mengusap air mata” dengan kesabaran dan pengorbanan setiap hari. Oleh karena itu, merupakan amanat keadilan bagi Bunda Gereja untuk menyediakan waktu dan tenaga dalam mempersiapkan mereka yang dipanggil Tuhan bagi misi yang demikian besar sebagaimana sama besarnya dengan misi keluarga.

Oleh karena itu, untuk mewujudnyatakan kebutuhan yang mendesak ini, “Saya menganjurkan untuk memberlakukan masa katekumenat yang sungguh-sungguh bagi calon suami-istri, yang mencakup semua tahapan perjalanan sakramental: waktu persiapan perkawinan, perayaannya, dan tahun-tahun sesudahnya” (Pidato kepada Peserta Kursus Persiapan Perkawinan, 25 Februari 2017). Inilah pekerjaan yang diusulkan oleh Dokumen yang saya presentasikan di sini dan untuk itu saya berterima kasih. Dokumen ini dibagi dalam tiga tahap: persiapan untuk perkawinan (jauh, dekat dan langsung); perayaan perkawinanpendampingan tahun-tahun pertama kehidupan perkawinan. Seperti yang akan anda lihat, ini membahas tentang pentingnya berjalan bersama bersama sebagai pasangan dalam perjalanan hidup mereka, bahkan setelah menikah, terutama agar mereka mampu melewati krisis dan saat-saat putus asa. Jadi kami akan berusaha untuk setia kepada Gereja, yang merupakan Ibu, Guru dan Teman Seperjalanan, yang selalu di sisi kami.

Dengan tulus saya mengharapkan agar Dokumen pertama ini segera diikuti oleh yang lain, di mana rencana kerja pastoral yang konkret dan kemungkinan rencana perjalanan pendampingan yang ditunjukkan secara khusus bagi pasangan yang telah mengalami kegagalan perkawinan dan yang hidup dalam persekutuan baru, atau menikah lagi secara sipil. Gereja, pada kenyataannya, ingin dekat dengan pasangan-pasangan ini dan juga melakukan perjalanan via caritatis bersama mereka (bdk. Amoris Laetitia, 306), sehingga mereka tidak merasa ditinggalkan dan dapat menemukan di dalam komunitas tempat-tempat yang dapat diakses dan saudara yang menerima, untuk membantu mereka dalam disermen dan partisipasi.

Dokumen pertama yang sekarang ditawarkan adalah anugerah sekaligus tugas. Anugerah, karena menyediakan semua bahan yang melimpah dan menggugah, hasil refleksi dan pengalaman pastoral yang sudah dilaksanakan di berbagai keuskupan/eparki di dunia. Dan ini juga tugas, karena dokumen ini bukan “rumus ajaib” yang berjalan secara otomatis. Dokumen ini adalah bahan mentah yang harus “diracik sendiri” oleh orang yang akan menggunakannya. Sebenarnya, dokumen ini memberi orientasi yang perlu diterima, diadaptasi dan dipraktikkan dalam situasi sosial, budaya dan gerejawi yang konkret di mana setiap Gereja partikular hidup. Oleh karena itu saya mengharapkan kepatuhan, semangat dan kreativitas para gembala Gereja dan rekan kerja mereka, untuk membuat karya pembinaan, pewartaan dan pendampingan keluarga yang penting dan tak tergantikan ini. Dan kita mohon kepada Roh Kudus supaya yang kita kerjakan sekarang ini menjadi lebih efektif.

“…aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu. Semua kuberitakan dan kuajarkan kepada kamu…” (Kis 20, 20). Saya mengundang semua orang yang bekerja dalam pastoral keluarga, menjadikan kata-kata Rasul Paulus ini sebagai miliknya sendiri dan tidak berkecil hati dalam menghadapi tugas yang mungkin tampak sulit, menuntut atau bahkan di luar kemampuan mereka. Jangan takut! Mari kita mulai melangkah! Mari kita mulai proses pembaruan pastoral! Kami curahkan pikiran dan hati kita untuk melayani keluarga masa depan, dan kita yakin bahwa Tuhan akan mendukung kita, akan memberi kita kebijaksanaan dan kekuatan, akan meningkatkan antusiasme dalam diri kita semua dan di atas segalanya akan membuat kita mengalami “Sukacita penginjilan yang manis dan menghibur” (Evangelii Gaudium, 9), sementara kami mewartakan Injil keluarga kepada generasi baru.

 

FRANSISKUS


 

PEMBUKAAN

Usulan Bapa Suci Fransiskus mengenai Masa Katekumenat Perkawinan

1. Dalam beberapa kesempatan, Bapa Suci Fransiskus telah menyatakan keprihatinan di dalam Gereja mengenai persiapan perkawinan yang lebih baik dan lebih mendalam bagi pasangan muda, menekankan perlunya rencana perjalanan yang relatif luas, yang diilhami oleh masa katekumenat baptis, yang memungkinkan mereka untuk lebih menghayati Sakramen Perkawinan, dimulai dari pengalaman iman dan perjumpaan dengan Yesus.[1]

2. Dengan mengambil tema yang sama dengan apa yang telah dijelaskan dalam sebuah dokumen Dewan Kepausan untuk Keluarga saat itu,[2] Dokumen ini dimaksudkan sebagai tanggapan atas keprihatinan Bapa Suci dan sebagai bantuan bagi Gereja-Gereja partikular dalam memikirkan atau meninjau ulang perjalanan persiapan sakramen perkawinan dan pendampingan pada tahun-tahun pertama kehidupan perkawinan.

Oleh karena itu, “Pedoman Pastoral” ini tidak dimaksudkan sebagai “kursus pra-nikah” yang terstruktur dan lengkap, dalam bentuk dan isi, yang siap digunakan dalam pelayanan pastoral biasa. Di sini lain, pedoman pastoral ini bertujuan untuk menunjukkan beberapa prinsip umum dan usulan pastoral yang konkret dan komprehensif, yang mengajak setiap Gereja lokal untuk menimbang-nimbang dalam menyusun sendiri rencana perjalanan katekumenal kehidupan perkawinan, dan dengan demikian menanggapi secara kreatif seruan Paus.[3]

3.            Situasi saat ini membutuhkan komitmen pembaharuan pastoral untuk memperkuat persiapan sakramen perkawinan di keuskupan/eparki dan paroki di semua benua. Banyaknya orang yang menunda perkawinan mereka, tetapi juga dan terutama, pendeknya usia perkawinan, termasuk perkawinan sakramental, serta masalah keabsahan perkawinan yang dilaksanakan, merupakan tantangan mendesak, yang amat berpengaruh pada kebahagiaan banyak umat awam di dunia. Sumber dari banyak kesulitan yang harus dihadapi keluarga adalah rapuhnya perkawinan, yang disebabkan oleh serangkaian faktor seperti: mentalitas hedonistik yang mendistorsi keindahan dan kedalaman seksualitas manusia, kepentingan diri yang menyulitkan orang dalam mempertahankan komitmen kehidupan perkawinan, pemahaman terbatas tentang karunia sakramen perkawinan, tentang makna cinta suami-istri dan panggilan dasar, yaitu, sebuah jawaban atas panggilan Allah bagi pria dan wanita yang memutuskan untuk menikah, dan lain-lain. Kepedulian yang dirasakan Bunda Gereja terhadap anak-anaknya ini, yang membutuhkan bantuan dan bimbingan, harus mendorong mereka untuk menginvestasikan energi baru demi pasangan “sehingga pengalaman cinta mereka dapat menjadi sakramen, tanda keselamatan yang efektif”.[4]

I.
PETUNJUK-PETUNJUK UMUM

Mengapa Masa Katekumenat

4.            Gagasan untuk menyusun rencana perjalanan katekumenal untuk perkawinan bukanlah hal baru dalam refleksi gerejawi[5] Setelah dua Sinode tentang keluarga pada tahun 2014 dan 2015, dalam beberapa kesempatan, Paus Fransiskus telah menyampaikan hal itu pada beberapa kesempatan melalui pengajaran umumnya dan secara bertahap mulai terbentuk dalam refleksi pastoral, menyusun panduan baru dalam pendampingan perkawinan.[6]

5.            Dalam Gereja kuno – menurut keyakinan bersama para Bapa Gereja – orientasi hidup Kristiani yang jelas harus mendahului perayaan sakramen. “Pertama-tama harus menjadi murid Tuhan dan kemudian diterima dalam Baptisan Kudus”, kata Santo Basilius.[7] Tanda-tanda khas dari orientasi hidup baru adalah iman dan pertobatan. Pada kenyataannya, masa katekumenat kuno, menjadi masa di mana calon Baptis dibentuk, memelihara iman mereka dan mendorong mereka untuk bertobat. Iman membuka hati dan pikiran kepada Allah dan kepada karya keselamatan Yesus Kristus, pertobatan yang diarahkan untuk memperbaiki perilaku, kebiasaan, praktik hidup yang tidak selaras dengan kehidupan Kristiani baru yang akan dipeluk oleh para katekumen.

Dengan cara yang serupa dengan apa yang terjadi pada Pembaptisan di Gereja kuno, pembinaan iman dan pendampingan untuk mengenakan gaya hidup kristiani, yang secara khusus ditujukan untuk pasangan, akan sangat membantu saat ini, mengingat perayaan perkawinan.[8] Pada kenyataannya, masa katekumenat, dapat mengilhami jalan baru pembaruan iman di setiap zaman karena mengusulkan gaya pendampingan untuk orang – pedagogis, bertahap, ritual – yang selalu mempertahankan efektivitasnya. Secara khusus, katekumenat perkawinan tidak dimaksudkan sebagai katekese belaka, atau untuk menyampaikan suatu doktrin. Katekumenat ini bertujuan untuk membuat misteri rahmat sakramental, yang menjadi milik mereka berdasarkan sakramen, bergema di antara pasangan: untuk membuat kehadiran Kristus hidup bersama mereka dan di antara mereka.[9] Untuk itu perlu, bagi mereka yang hendak menikah, mengatasi nuansa intelektual, teoretis, dan latihan-latihan umum semata (literasi agama). Adalah perlu untuk berjalan bersama mereka di jalan yang membawa mereka mengalami perjumpaan dengan Kristus, atau yang memperdalam hubungan ini, dan untuk membuat diskresi yang autentik tentang panggilan perkawinan mereka sendiri, baik sebagai pribadi maupun sebagai pasangan.[10]

Siapa Yang Bertanggung Jawab Atas Tugas Ini?

6.            Penyusunan perjalanan pastoral katekumenat perkawinan dan pendampingan konkret dari pasangan di sepanjang jalan ini adalah tugas seluruh komunitas gerejawi, yang melibatkan para imam, pasutri Kristen, religius dan petugas pastoral, yang harus saling bekerja sama dan sesuai dengan arahan uskup. Perkawinan bukan hanya peristiwa sosial, tetapi bagi orang Kristen itu adalah peristiwa “gerejawi”. Oleh karena itu seluruh Gereja, sebagai tubuh Kristus, bertanggung jawab dalam pelayanan keluarga masa depan.[11]

7.            Baik pasangan yang mempersiapkan perkawinan maupun para petugas pastoral yang menemani mereka haruslah memiliki keyakinan bahwa perkawinan bukanlah suatu titik akhir perjalanan: (sebaliknya) adalah sebuah panggilan, adalah jalan kekudusan yang mencakup seluruh hidup orang.[12] Selanjutnya, berdasarkan partisipasi mereka dalam imamat kenabian dan rajawi Kristus, melalui sakramen perkawinan, umat beriman awam juga menerima suatu perutusan gerejawi khusus yang perlu dipersiapkan dan didampingi.[13] Sebagaimana Gereja berupaya mempersiapkan para imam dan religius dengan cara yang sebaik mungkin untuk menghayati panggilan dan perutusan mereka dengan membaktikan waktu bertahun-tahun pembinaan bagi mereka, demikian pula Gereja bertugas mempersiapkan umat beriman secara memadai; siapapun mereka yang merasa terpanggil untuk menyambut panggilan perkawinan dan bertekun di dalamnya sepanjang hidup mereka, mengemban misi mereka sendiri.[14] Sakramen Tahbisan, kaul-kaul religius, dan sakramen perkawinan, semuanya berhak mendapat perhatian yang sama, karena Tuhan memanggil pria dan wanita untuk satu panggilan atau yang lain dengan intensitas dan cinta yang sama.

8. Untuk mengadakan pembaharuan pelayanan pastoral kehidupan suami-istri secara efektif,sangat diperlukan bahwa baik pasangan suami-istri pendamping, dalam paroki dan gerakan keluarga, maupun para imam, yang sudah sejak formasi di seminari, baik kaum religius maupun yang ditahbiskan, dilatih dan dipersiapkan secara memadai untuk saling melengkapi dan bertanggung jawab bersama secara gerejawi.[15] Persekutuan kodrati dalam kerasulan antara pasangan suami-istri dan orang-orang hidup selibat telah hadir dalam kehidupan gerejawi sejak awal, sebagaimana ditunjukkan oleh Paulus yang didukung oleh Akuila dan Priscilla dalam penginjilan,[16] tetapi hari ini harus ditemukan kembali dan dihayati sepenuhnya di paroki dan di tingkat keuskupan, karena keragaman gaya dan bahasa, keragaman pengalaman hidup, keragaman karisma dan karunia rohani panggilan masing-masing dan status hidup merupakan pengayaan besar dalam penerusan iman kepada pasangan muda dan dalam kehidupan awal perkawinan mereka.

9. Mereka yang bertanggung jawab atas karya pastoral – pastor paroki, religius, uskup – melaksanakan tugas penting untuk menganimasi dan mengoordinasi.[17] Para imam dan pastor paroki, khususnya, biasanya menjadi orang pertama yang menerima permintaan kaum muda untuk menikah di gereja. Mereka memiliki tanggung jawab besar untuk menyambut, mendorong dan menyapa pasangan dengan baik, membantu mereka menemukan dimensi mendalam religius perkawinan kristen, yang jauh lebih unggul daripada “upacara sipil” atau “pembuatan kostum”.[18]

10. Di samping imam dan religius, ada peran utama harus dimainkan oleh pasangan suami-istri. Persiapan perkawinan calon pasangan suami-istri merupakan karya evangelisasi yang sungguh nyata[19] dan kaum awam, khususnya pasangan suami-istri yang dipanggil, seperti kaum religius dan pelayan tertahbis, untuk mengambil bagian dalam misi penginjilan Gereja: mereka adalah subjek pastoral.[20] Berdasarkan pengalaman khas mereka, mereka akan mampu memberikan hal-hal konkret untuk menemani tahap perjalanan, sebelum menikah dan selama perkawinan, terlibat sebagai saksi dan pendamping pasangan dalam kaitannya dengan banyak aspek kehidupan perkawinan (afektif, seksual, dialogis, spiritual) dan keluarga (tugas perawatan dan perawatan, keterbukaan terhadap kehidupan, saling menghargai, pendidikan anak, dukungan dalam kesibukan sehari-hari, dalam kesulitan dan dalam penyakit). Pasangan suami-istri bersedia melaksanakan pelayanan pendampingan yang berharga ini memperoleh manfaat besar bagi dirinya sendiri: memajukan karya pastoral bersama, pada kenyataannya, dan mewartakan “Injil perkawinan” kepada orang lain, merupakan faktor persatuan rohani yang besar dan pengayaan pribadi dan pasangan. Namun demikian, perlu untuk menghindari risiko bahwa kaum awam, dan khususnya pasangan suami-istri, dalam menghayati peran utama gerejawi ini, mengambil alih peran imam, memegang peran dan fungsi yang bukan milik mereka. Para imam dan religius, dari sudut pandang mereka, perlu berhati-hati untuk tidak mengurangi kehadiran awam menjadi saksi sederhana, karena mereka memiliki ruang tanggung jawab bersama yang efektif. Oleh karena itu, para imam dan religius harus berusaha menempatkan diri mereka dalam sikap mendengarkan dan verifikasi terus-menerus dalam perjalanan bersama dengan pasangan suami-istri yang bekerja sama dengan mereka dan yang mengalami dimensi keluarga secara langsung, menghindari menjadi satu-satunya aktor atau, sebaliknya, membuat permintaan berlebihan dan pendelegasian yang terlalu banyak, yang berisiko “melelahkan keluarga”.

Pembaharuan Pelayanan Pastoral Kehidupan Perkawinan

11. Oleh karena itu, pembaruan pastoral yang diharapkan oleh Paus Fransiskus sejak awal kepausannya[21] juga harus menyangkut pelayanan pastoral kehidupan perkawinan. Dalam konteks ini, jalur pembaruan dapat ditunjukkan mulai dari tiga “catatan” khusus: transversalitas, sinodalitas, dan kontinuitas.

12. “Transversalitas” berarti bahwa pelayanan pastoral kehidupan perkawinan tidak terbatas pada area tertentu “pertemuan pasangan yang bertunangan”, tetapi “melintasi” banyak area pastoral lainnya dan selalu diingat di dalamnya. Dengan cara ini, pelayanan pastoral yang terbagi-bagi secara ketat, yang mengurangi keefektifan, dapat dihindari. Pastoral untuk anak-anak, kaum muda dan keluarga, di sisi lain, perlu berjalan bersama, bersinergi. Mereka harus saling menyadari jalan dan tujuan pastoral yang mereka tuju untuk memunculkan proses pertumbuhan linier dan pendalaman iman secara bertahap. Dalam hal ini, pastor paroki harus memainkan peran koordinasi yang penting untuk berbagi dengan tim pastoral. Lebih jauh lagi, akan sangat bermanfaat jika di ketiga bidang ini selalu hadir dengan memberikan arah dan sudut pandang yang menyatukan dan menunjukkan saling keterkaitan dalam perjalanan iman dan kehidupan manusia. Bahkan reksa pastoral sosial harus diintegrasikan dengan keluarga, karena dewasa ini tidak mungkin memahami reksa pastoral sosial yang memadai tanpa “mendengarkan” keluarga, sama seperti seseorang tidak dapat memahami keluarga tanpa memperhitungkan bagaimana hari ini mereka dipengaruhi oleh realitas sosial.

13. “Sinodalitas” mendefinisikan modus vivendi et operandi (cara hidup dan karya) Gereja yang khas. Gereja adalah persekutuan dan secara konkret menyadari dirinya sebagai persekutuan dalam berjalan bersama, dalam mengkoordinasikan semua bidang pastoral dan dalam partisipasi aktif semua anggotanya dalam misi penginjilannya.[22] Reksa pastoral kehidupan perkawinan juga harus dihayati dalam gaya sinode ini, yang harus “diasumsikan” bersama oleh setiap anggota Gereja, harus mencakup semua bidang pastoral dan harus berjalan seiring dengan jalan bersama Gereja di setiap zaman sejarah, tumbuh bersamanya, memperbarui dan memperbaharuinya.

14. “Kesinambungan” mengacu pada bukan ciri “episodik” tetapi “masa yang panjang” – bisa juga dikatakan “permanen” – dari pastoral kehidupan perkawinan. Dengan cara ini dimungkinkan pengaturan perjalanan pedagogis yang, dalam berbagai fase pertumbuhan – manusia dan iman – mendampingi anak-anak dan orang muda menemukan secara bertahap panggilan mereka: baik untuk perkawinan, imamat atau kehidupan religius. Oleh karena itu, akar panggilan perkawinan diperlukan dalam jalan inisiasi Kristen ke dalam iman sejak bayi.[23]

15. Sehubungan dengan apa yang baru saja dikatakan, perlu dipikirkan lagi secara serius cara sehingga orang-orang mengalami pertumbuhan rohani dan manusiawi di dalam Gereja. Kenyataannya, tidak sedikit negara, dalam kehidupan dan kegiatan sehari-hari paroki, ada periode “pengabaian pastoral” pada beberapa fase kehidupan individu dan keluarga, yang sayangnya menjadi penyebab keterasingan dari komunitas dan seringkali juga dari iman: pikirkan, misalnya, orang tua setelah katekese untuk Pembaptisan anak-anak atau katekese anak-anak setelah Komuni Pertama. Justru untuk mengisi “kesenjangan pastoral” ini adalah tepat untuk memikirkan bentuk katekese tertentu sebagai kelanjutan dari katekese dasar dan pendampingan lain yang menyertainya, sehingga orang tua dapat mengikuti pertumbuhan rohani anak-anak mereka selama masa kanak-kanak dan remaja dan merasa untuk tujuan ini didukung oleh komunitas untuk berbagi refleksi dan pengalaman mereka.[24]

II.
USULAN KONKRET

16. Paus Fransiskus “merekomendasikan untuk menerapkan katekumenat yang sesungguhnya bagi calon pasangan, yang mencakup semua tahapan perjalanan sakramental: waktu persiapan perkawinan, perayaannya, dan tahun-tahun segera setelahnya”.[25] Sebagaimana telah dikatakan, tugas masing-masing keuskupan/eparki menguraikan, atau memikirkan kembali, agenda persiapan perkawinannya sendiri diinspirasi oleh katekumenat pra-baptis. Ini jelas harus dilakukan dengan mempertimbangkan kemungkinan dan batasan yang ditentukan oleh konteks geografis, budaya dan pastoral masing-masing, mengambil inspirasi dari orientasi ini dengan cara yang fleksibel dan kreatif. Dalam mengembangkan rancangan program ini, beberapa persyaratan harus diingat:

  • hendaknya (persiapan perkawinan) itu berlangsung cukup lama sehingga memungkinkan pasangan untuk melakukan refleksi dan pendewasaan yang nyata;
  • kendatipun dimulai dari pengalaman konkret cinta manusia, namun hendaknya iman dan perjumpaan dengan Kristus menjadi pusat dalam persiapan perkawinan;
  • hendaknya persiapan itu dibagi menjadi beberapa tahap, ditandai – jika mungkin dan sesuai – oleh Upacara peralihan yang dirayakan di dalam komunitas;
  • hendaknya mencakup semua unsur ini (tanpa mengecualikan apapun): pembinaan, refleksi, diskusi, dialog, liturgi, komunitas, doa, perayaan.

Akan tetapi, penting juga untuk menunjukkan bahwa bahkan ketika sebuah keuskupan/eparki telah mengembangkan perjalanan persiapan perkawinannya sendiri, “sarana pastoral” ini tidak bisa begitu saja “dipaksakan” sebagai satu-satunya cara persiapan perkawinan, tetapi harus digunakan dengan bijaksana dan penuh pertimbangan, menyadari dengan baik bahwa ada kasus-kasus di mana tidak dapat atau tidak boleh mengikuti katekumenat perkawinan, tetapi cara-cara dan bentuk-bentuk persiapan lain harus ditemukan sehubungan dengan perkawinan.

Cara

17. Setelah menguraikan rencana katekumenat perkawinannya sendiri, adalah tepat bahwa keuskupan/eparki mengikuti periode percobaan melalui “proyek percontohan”, untuk diluncurkan, pada awalnya, di semua atau hanya di beberapa paroki (tergantung pada realitas pastoral). Setelah percobaan pertama ini, perlu dikumpulkan pendapat dan evaluasi, baik dari para pelaku pastoral maupun dari pasangan yang berpartisipasi, untuk bersama-sama mencermati kelebihan dan kekurangan yang ditemukan dan untuk menindaklanjutinuya sesuai dengan penyesuaian yang diperlukan.

18. Dihadapkan pada pluralitas situasi pribadi, keuskupan/eparki dapat memperhitungkan bentuk umum rencana perjalanan katekumen, kemudian mengevaluasinya bagaimana setiap pasangan itu mengikutinya secara pribadi. Kreativitas pastoral akan menjadi penting, demikian juga fleksibilitas terhadap situasi konkret dari pasangan yang berbeda: praktik keagamaan, motivasi sosial dan ekonomi, usia, hidup bersama, kehadiran anak dan faktor-faktor lain yang terkait dengan keputusan untuk menikah.

19. Ritual inisiasi Kristen untuk orang dewasa dapat menjadi kerangka acuan umum yang membangkitkan inspirasi. Akan sangat penting untuk menekankan proses yang dialami baik sebelum maupun sesudah mengikuti katekumenat (masing-masing evangelisasi pertama dan mistagogi); memastikan bahwa bagian-bagian dari satu waktu ke waktu lain ditandai dengan diskresi, simbol dan Upacara (jika tidak disarankan karena alasan budaya); bahwa ada hubungan yang jelas antara sakramen-sakramen lainnya (Pembaptisan, Ekaristi, Penguatan) dan Perkawinan. Semua ini, dengan mempertimbangkan bahwa pendidikan iman mengandaikan perjumpaan pribadi dengan Kristus, pertobatan hati dan kehidupan praktis dan pengalaman Roh dalam persekutuan gerejawi.

20. Semua orang yang menemani – pasangan suami-istri , imam dan, pada umumnya, tenaga pastoral – harus memiliki pelatihan dan cara pendampingan proses katekumen yang sesuai. Seperti yang telah disebutkan, ini bukan soal menyampaikan gagasan atau memberikan keterampilan, tetapi lebih pada membimbing, membantu, dan menjadi dekat dengan pasangan dalam perjalanan bersama. Katekumenat perkawinan bukanlah persiapan untuk “ujian kelulusan”, tetapi untuk “kehidupan yang harus dijalani”. Untuk itu, pembinaan dan pembaharuan terus menerus bagi para imam dan religius menjadi prioritas, karena seringkali mereka menggunakan bahasa yang “jauh” dari realitas konkret keluarga dan tidak dapat dipahami oleh mereka, bahkan untuk isinya yang terlalu abstrak dalam penyajiannya. Hal yang sama dapat dikatakan untuk “nada” umum yang akan digunakan dalam perjalanan katekumenal ini, yang harus jauh melampaui “daya tarik moralistik” dan harus lebih menjadi proaktif, persuasif, mendorong dan semuanya itu berorientasi pada kebaikan dan keindahan hidup perkawinan. Pada akhirnya, kelengkapan, ketepatan isi dan gaya pendampingan harus bertujuan untuk mengangkat martabat dan nilai setiap orang dan, pada saat yang sama, martabat dan nilai panggilan hidup mereka, yang senantiasa tertanam dalam realitas konkret. Perhatian terhadap gaya ini sangat penting saat ini mengingat bahwa banyak pasangan yang bertunangan hidup dalam situasi hidup bersama yang kompleks, di mana mereka merasa sulit memahami makna sakramental atas pilihan yang akan mereka buat dan “pertobatan” yang dituntut dari pilihan ini, meskipun mereka “melihat sekilas” misteri sakramen yang lebih besar dibandingkan dengan koeksistensi belaka. Oleh karena itu, diperlukan proses bertahap, penerimaan dan dukungan, tetapi juga kesaksian dari pasangan Kristen lainnya yang menyambut dan “hadir” di sepanjang perjalanan. Untuk alasan ini, penting agar dalam komunitas lebih ada banyak ruang diberikan untuk partisipasi aktif pasangan dalam kepasutriannya, sebagai agen pastoral perkawinan, dan bukan hanya sebagai umat beriman secara individu. Pengalaman “pribadi” akan diangkat dalam kelompok kerja, mendengarkan dan persiapan – jika perlu juga dengan masing-masing pasangan secara terpisah – sehingga pasangan tersebut didampingi oleh pasangan pendamping yang dapat membantu menciptakan iklim persahabatan dan kepercayaan. Anda juga menggunakan rumah Anda untuk membuat mereka merasa diterima dan nyaman.

21. Tim pendamping yang membimbing perjalanan dapat terdiri dari beberapa pasangan suami-istri yang didukung oleh seorang imam dan oleh para ahli lain dalam pastoral keluarga, serta oleh para religius dan bahkan mungkin oleh orang-orang yang hidup terpisah, namun tetap setia pada sakramen, yang dapat memberikan kesaksian dan pengalaman khas mereka dengan cara yang konstruktif, dan dengan demikian membantu menunjukkan wajah Gereja yang ramah, sepenuhnya tenggelam dalam kenyataan, dan yang menempatkan dirinya bersama semua orang. Perhatian harus diberikan dalam menetapkan posisi ini supaya tidak hanya untuk satu, tetapi untuk beberapa pasangan, lebih baik dari berbagai usia, dan tidak menugaskan tim yang sama selama bertahun-tahun, melainkan menyiapkan pengganti yang sesuai. Kerja sama antara paroki dan/atau wilayah pastoral juga sangat diperlukan untuk mendukung aneka macam jalan dan kemungkinan dalam perjalan pembinaan kepada setiap orang.

22. Beberapa masalah kompleks terkait dengan seksualitas perkawinan atau keterbukaan terhadap kehidupan (seperti pengasuhan bertanggung jawab, inseminasi buatan, diagnosis prenatal dan masalah bioetika lainnya) memiliki implikasi etis, relasional dan spiritual yang kuat bagi pasangan, dan saat ini memerlukan pembinaan khusus dan pemikiran yang jelas. Terlebih lagi karena beberapa cara untuk menangani masalah ini memiliki aspek moral yang bermasalah. Penjaga sendiri tidak selalu mampu mengatasi masalah yang sangat luas ini. Dalam kasus ini, sangat tepat dilibatkan orang yang lebih berpengalaman.[26]

23. Selama perjalanan, Upacara-Upacara tersebut berfungsi sebagai penanda berakhirnya suatu tahap dan awal dari tahap berikutnya dan dapat menjadi tempat yang tepat untuk mengungkapkan keinginan bebas untuk melanjutkan perjalanan, sehingga menandai tahap perjalanan pendalaman. Upacara ini juga menandai pembatinan bertahap antara pertumbuhan iman dan pertumbuhan cinta pasangan yang bertunangan. Di antara Upacara yang harus dipertimbangkan, sebelum mencapai Upacara perkawinan yang sebenarnya, mungkin ada: pemberian Kitab Suci kepada pasangan, memperkenalkan mereka kepada komunitas, pemberkatan cincin pertunangan, penyampaian mengenai “doa pasangan”, yang akan menemani mereka selama perjalanan. Kesempatan itu akan dievaluasi sesuai dengan realitas gerejawi setempat. Setiap Upacara ini dapat disertai dengan retret, yang dapat menjadi kesempatan untuk diskresi dan keputusan apakah akan melanjutkan ke tahap berikutnya atau tidak, dalam dialog spiritual dengan tim pendamping. Namun, dalam tahun-tahun pertama kehidupan perkawinan, seseorang mungkin menyarankan untuk mengawali “altar keluarga”, yaitu tempat di rumah di mana pasangan dan anak-anak berkumpul dalam doa.

Fase dan Tahapan

24. Dari perspektif pastoral jangka panjang, akan baik jika rencana perjalanan katekumenal  didahului oleh fase pra-katekumenal: ini akan secara praktis sesuai dengan periode panjang “persiapan perkawinan jarak jauh”, yang dimulai sejak masa anak-anak. Tahap katekumenal biasanya terdiri dari tiga tahap yang berbeda: persiapan pendek, persiapan langsung dan pendampingan tahun-tahun pertama kehidupan perkawinan. Di antara fase pra-katekumenal dan fase katekumenal inti, dapat dipikirkan adanya fase peralihan, di mana para calon disambut, yang kemudian dapat ditutup dengan Upacara pembukaan masa katekumenat perkawinan. Meringkas secara skematis apa yang akan dijelaskan kemudian, berikut ini urutan dari berbagai fase dan tahapan, dengan beberapa Upacara dan retret yang menandai setiap bagiannya:

A. Fase pra-katekumenal: persiapan jauh

  • Pastoral anak-anak
  • Pastoral kaum muda

B. Fase Menengah (beberapa minggu): waktu penerimaan calon

  • Upacara penerimaan masa katekumenat (pada akhir fase penyambutan)

C. Fase katekumenat

  • Tahap pertama: persiapan berikutnya (sekitar satu tahun). Upacara pertunangan (pada akhir persiapan berikutnya). Retret singkat untuk persiapan langsung
  • Tahap kedua: persiapan dekat (beberapa bulan). Retret pendek dalam persiapan perkawinan (beberapa hari sebelum perayaan)
  • Tahap ketiga: tahun-tahun pertama kehidupan perkawinan (2-3 tahun)

Dua Klarifikasi

25. Pengalaman pastoral di sebagian besar dunia sekarang menunjukkan munculnya, “pertanyaan-pertanyaan baru” yang secara terus menerus muncul dan meluas tentang persiapan perkawinan sakramental oleh pasangan-pasangan yang sudah hidup bersama, yang telah menikah secara sipil dan memiliki anak. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak bisa lagi dihindari oleh Gereja, atau disejajarkan dengan jalan yang dilalui oleh mereka yang datang dari perjalanan iman yang minimal; melainkan mereka membutuhkan bentuk pendampingan yang lebih pribadi, atau dalam kelompok kecil, yang terarah pada pendewasaan pribadi dan pasangan menuju perkawinan Kristiani, melalui penemuan kembali iman, mulai dari Pembaptisan dan pemahaman yang bertahap tentang makna Upacara dan sakramen perkawinan. Untuk pasangan seperti itu, gereja-gereja tertentu dapat memikirkan jalur katekumenal di luar pelayanan pastoral perkembangan kaum muda dan keterlibatan – seperti yang diusulkan dalam dokumen ini – yang, sementara mengarah pada kesadaran panggilan dan sakramental yang sama, didasarkan pada pengalaman konkret kehidupan mereka yang khas. Hal ini akan memunculkan bentuk baru untuk mencoba menanggapi kebutuhan realitas keluarga masa kini yang berbeda dari beberapa dekade lalu, tetapi masih merindukan untuk lebih dekat pada Gereja dan “misteri agung” perkawinan.

26. Dalam uraian berikut, perjalanan pembinaan juga menyajikan beberapa “Upacara”. Adalah baik untuk memperhatikan bagaimana Upacara-Upacara ini dilaksanakan dan terutama bagaimana dirasakan. Meskipun tanggapan dari pasangan yang mengikuti kursus pelatihan ini umumnya sangat positif, pengalaman juga menunjukkan bahwa ada risiko yang mungkin terjadi, terutama di beberapa negara, yang secara khusus sensitif terhadap Upacara dan relevansi sosialnya. Sebagai contoh, perayaan publik yang berlebihan dari pasangan yang bertunangan, – seperti dengan mengundang keluarga-keluarga dan seluruh umat paroki partisipasi dalam berbagai Upacara perjalanan katekumenal, terkadang akan membuat Upacara ini dianggap sebagai “antisipasi” perkawinan, menghasilkan harapan palsu dan tekanan psikologis yang tidak semestinya pada mereka yang bertunangan. Jelas bahwa hal seperti ini dapat berpengaruh negatif pada proses disermen dari pasangan yang bertunangan dan dapat membatasi kebebasan mereka, sehingga dengan demikian dapat mengakibatkan batalnya perayaan perkawinan. Oleh karena itu, disarankan supaya bersikap hati-hati dan membuat evaluasi dengan cermat tentang bagaimana Upacara-Upacara ini disarankan ini diberikan, sesuai dengan konteks sosial. Dalam beberapa kasus, misalnya, mungkin lebih disukai bahwa Upacara-Upacara ini dilakukan hanya dalam kelompok pasangan yang mengikuti rencana perjalanan, tanpa melibatkan keluarga atau orang lain. Dalam kasus lain, lebih baik dihindari sama sekali.

A. Tahap Pra-katekumenal: Persiapan Jauh

27. Persiapan jangka panjang mendahului rencana pembinaan katekumenal yang sebenarnya. Persiapan jauh ini dilakukan sejak dari masa kanak-kanak dan untuk “mempersiapkan lahan” di mana benih-benih panggilan masa depan hidup perkawinan ditanamkan. “Dasar” dipersiapkan dengan baik jika penghargaan akan setiap nilai kemanusiaan yang autentik ditanamkan pada anak-anak, jika penghargaan dan penghormatan terhadap orang lain dikembangkan, jika pengendalian diri diajarkan bahkan dalam hal-hal kecil, sejauh pemenuhan kecenderungan pribadi itu baik, menghormati lawan jenis dan martabat setiap manusia pada umumnya.[27]

28. Gereja, dengan kasih sayang keibuan, akan mencari cara yang paling tepat untuk “menceritakan” kepada anak-anak rencana kasih Allah bagi setiap orang, yang mana perkawinan adalah tandanya, dan yang, bahkan dalam kasus mereka, akan menyatakan dirinya sebagai panggilan khusus. Kebahagiaan seluruh generasi dipertaruhkan. Bagaimanapun, panggilan keluarga menyangkut sebagian besar orang di dunia. Untuk tujuan ini, perlu dibentuk dalam diri anak-anak antropologi Kristen yang sehat – termasuk unsur-unsur pertama seksualitas manusia dan teologi tubuh[28] – dan untuk mengembangkan identitas baptisan mereka dalam perspektif panggilan, baik dalam perkawinan maupun dalam kehidupan keagamaan.

29. Proses pelatihan pembinaan yang dimulai dari anak-anak dapat dilanjutkan dan diperdalam dengan remaja dan kaum muda, sehingga mereka tidak mengambil keputusan untuk menikah secara kebetulan dan setelah masa remaja ditandai dengan pengalaman afektif dan seksual yang menyakitkan bagi kehidupan rohani mereka. Pengalaman seperti itu dapat menyebabkan luka emosional yang mendalam, yang akan meluas hingga dewasa dalam kehidupan seksual dan perkawinan mereka. Menghadapi luka-luka ini, tim pastoral harus mampu menawarkan bantuan para ahli yang dapat mendampingi kaum muda ini secara pribadi. Selain itu, banyak anak muda karena berbagai alasan, termasuk konteks keluarga, sosial atau budaya, memasuki usia dewasa tanpa persiapan untuk kehidupan perkawinan, sementara banyak orang lain menganggap perkawinan sebagai panggilan dan karena itu mereka puas dengan hidup bersama. Dalam banyak kasus, hal ini terjadi bukan karena penolakan eksplisit terhadap dimensi agama, tetapi karena ketidaktahuan akan kekayaan besar yang terkandung dalam rahmat sakramen perkawinan Kristen, atau karena alasan sosial atau budaya lainnya.[29] Untuk alasan ini, para petugas pastoral harus dipersiapkan agar mereka tahu menggunakan bahasa yang sesuai dan menyampaikan Sabda dengan cara yang dapat dimengerti oleh orang-orang muda, masuk pada kenyataan hidup mereka, mampu membangkitkan minat yang sejati dalam diri mereka.

30. Ada dua bahaya yang dihadapi oleh kaum muda: di satu sisi, penyebaran mentalitas hedonistik dan konsumerisme yang membuat mereka kehilangan kemampuan untuk memahami makna indah dan mendalam dari seksualitas manusia. Di sisi lain, pemisahan antara seksualitas dan perkawinan “seumur hidup”. Program-program yang ditujukan untuk pembinaan afektivitas dan seksualitas – dalam cakrawala “pendidikan seksualitas yang positif dan bijaksana” – yang diberikan kepada kaum muda selaras “dengan bertambahnya usia mereka”,[30] tidak boleh dibatasi hanya pada cakrawala yang sempit. Dalam interpretasi budaya yang dominan, cinta dipahami sebagai cinta romantis; Oleh karena itu, program harus diresapi oleh visi cinta perkawinan yang jelas, dipahami sebagai pemberian diri timbal balik dari pasangan, mengetahui bagaimana mencintai dan mengetahui bagaimana membiarkan diri sendiri dicintai, sebagai pemberian kasih sayang timbal balik dan penerimaan tanpa syarat, mengetahui bagaimana bersukacita dan mengetahui bagaimana menderita bagi yang lain.[31] Ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk membuat atau memperkuat program-program pastoral yang ditujukan terutama bagi kaum muda di usia pubertas dan remaja. Mengingat tantangan saat ini, keluarga tidak bisa dan tidak mungkin menjadi satu-satunya tempat pendidikan afektivitas. Oleh karena itu, keluarga membutuhkan bantuan Gereja. Untuk mencapai tujuan ini, pelatihan yang memadai harus diberikan bagi para pembina yang mendampingi kaum muda dalam pendidikan seksualitas dan afektif. Para ahli harus dilibatkan, misalnya, dan singergi harus diciptakan dengan para penasihat yang kristiani atau rencana-rencana pastoral yang menawartkan pembinaan afeksi, yang telah disetujui oleh keuskupan/eparki atau Konfensi Para Uskup.

31. Tahapan masa kanak-kanak, masa remaja dan masa muda awal merupakan bagian dari satu jalur pembinaan pendidikan, tanpa solusi kesinambungan, yang didasarkan pada dua kebenaran mendasar; “Yang pertama adalah bahwa manusia dipanggil untuk hidup dalam kebenaran dan cinta; yang kedua adalah bahwa setiap orang menyadari dirinya melalui pemberian diri yang tulus”[32] dalam suatu panggilan. Dengan pencerahan yang mencerahkan hubungan cinta dengan kebenaran itu, kaum muda akan terbantu untuk tidak takut akan perubahan perasaan yang fatal dan masa-masa pencobaan.[33]

32. Perjalanan pembinaan persiapan jauh harus dipertimbangan dalam program pastoral setiap paroki atau komunitas gerejawi lainnya. Secara khusus, program itu harus diumumkan secara eksplisit dalam konteks pelayanan kaum muda (termasuk kelompok remaja) dan diusulkan sebagai waktu yang baik untuk mulai mengembangkan panggilan perkawinan.[34] Dianjurkan untuk memulai kerjasama dengan paguyuban dan gerakan awam dalam melaksanakan intervensi pelayanan proyek pastoral secara sinergis dan dengan semangat persekutuan gerejawi.[35]

33. Yang banyak membantu kaum muda adalah pendampingan yang kaya akan kedekatan dan kesaksian. Kaum muda selalu sangat tertarik untuk mendengarkan langsung pasangan suami-istri yang menceritakan kisah mereka sebagai pasangan,  alasan mereka untuk mengatakan “ya”, atau dengan kesaksian pasangan yang bertunangan – bahkan mereka yang belum memutuskan untuk menikah – yang mencoba hidup secara Kristen. Pertunangan sebagai waktu yang penting untuk membedakan dan menegaskan pilihan, termasuk mereka yang telah membuat pilihan untuk hidup suci sebelum menikah, dan yang sejak dini memberi tahukan alasan pilihan mereka dan buah-buah rohani yang berasal darinya.[36]

34. Orang-orang muda juga membutuhkan momen-momen yang dipersonalisasi, waktu yang diberikan secara khusus untuk tiap individu,[37] untuk menerangi keraguan dan kebingungan, untuk menghadapi ketakutan dan ketidakamanan, untuk dibantu merenungkan segala ketidakdewasaan, untuk belajar mengatasi ketertutupan diri dan membuka diri terhadap cinta yang konkret dari orang lain.[38]

35. Banyak anak muda gagal tidak memahami hubungan erat antara kehidupan iman dan kehidupan afektif. Dengan menumbuhkan cinta yang manusia yang sejati dan tulus, kaum muda siap mengalami perjumpaan dengan cinta Allah yang lebih besar dan memfasilitasi penemuan (atau penemuan kembali) iman mereka. Pada saat yang sama, perjumpaan dengan cinta Allah dan penemuan (atau penemuan kembali) iman memberi makna baru dan kedalaman baru bagi pengalaman cinta manusia.[39] Iman itu sendiri memiliki bentuk pengetahuannya sendiri, yang berasal dari cinta dan terbuka untuk cinta.[40] Oleh karena itu, orang muda dalam fase jauh ini perlu dibimbing dalam pertumbuhan yang harmonis, yang menyatukan dimensi manusiawi dan rohani cinta, terutama dalam diri mereka yang sedang mempersiapkan perkawinan, dengan pengalaman iman yang minimal dan ketidakaktifan mereka dalam hidup menggereja.

36. Secara ringkas, tujuan dari persiapan jauh adalah: a) mendidik anak untuk menghargai diri sendiri dan orang lain, untuk mengetahui martabat mereka sendiri dan untuk menghormati orang lain; b) memberikan pemahaman kepada anak-anak pandangan Kristiani tentang manusia dan aspek (dimensi) panggilan yang terkandung dalam Pembaptisan yang akan mengarah pada perkawinan atau hidup bakti; c) mendidik remaja dalam afektivitas dan seksualitas dengan melihat panggilan masa depan untuk cinta yang murah hati, eksklusif dan setia (baik dalam perkawinan, dalam imamat atau dalam hidup bakti); d) menawarkan kepada kaum muda pendampingan manusiawi dan rohani untuk mengatasi ketidakdewasaan, ketakutan dan penolakan untuk membuka persahabatan dan cinta yang bebas, murah hati dan oblatif, tidak posesif atau narsistik.

B. Tahap Dekat: Penerimaan Calon

37. Tahap Dekat penerimaan dapat dilaksanakan dalam rentang waktu yang bervariasi: beberapa minggu bagi mereka yang berasal dari perjalanan pembinaan Kristiani, beberapa bulan bagi mereka yang, selain membuat diskresi pertama dalam pertunangan, perlu memperdalam identitas pembaptisan mereka. Fase penerimaan ini juga dapat diberikan kepada pasangan yang terlambat mengikuti program.

38. Saat penerimaan ini tidak boleh dibatasi dalam urusan formalitas birokrasi dan administrasi kehadiran para calon, melainkan harus dialami sebagai saat perjumpaan dan berbagi pengetahuan. Cara berelasi dan penerimaan yang dipakai oleh tim pastoral akan menentukan. Hal ini berlaku baik bagi mereka yang berasal dari masa pembinaan jangka panjang – dan dengan demikian menikmati kehidupan iman yang mapan dan partisipasi gerejawi – dan bagi mereka yang pertama kali terlibat dalam komunitas paroki.[41] Dalam kasus kedua ini, terutama ketika mendampingi orang-orang yang jauh dari praktik keagamaan dan seringkali juga dari wacana iman apa pun, adalah penting bahwa saat penerimaan menjadi saat untuk berkatekese, sehingga kasih Kristus yang penuh belas kasih menjadi “tempat spiritual” yang autentik di mana pasangan disambut.[42]

39. Bukan hanya “pewartaan pertama” iman yang bersifat kerigmatis, tetapi pewartaan Gereja harus menempatkan sakramen perkawinan itu sendiri sebagai pewartaan yang sejati, terutama bagi orang-orang yang mempunyai pengalaman iman dan kurang terlibat dalam kehidupan menggereja. Mereka harus dapat melihat dalam diri pasangan yang sudah menikah, dan mengalami sendiri, bahwa kehidupan perkawinan adalah jawaban atas harapan terdalam dari pribadi manusia untuk saling memberi dan menerima, dalam persekutuan dan kesuburan, baik jasmani maupun rohani.[43] Oleh karena itu, pewartaan itu akan memberi tekanan pada sifat cinta suami-istri dan keluarga, dan akan menyoroti semua cirinya yang khas: totalitas, saling melengkapi, keunikan, finalitas, kesetiaan, kesuburan, karakter umumnya. “Pewartaan Injil” tentang perkawinan akan menunjukkan bahwa sifat dan ciri inilah yang muncul dari dinamika internal cinta manusia. Ini berarti bahwa kesetiaan, keunikan, tujuan perkawinan, kesuburan, totalitas, pada dasarnya adalah “dimensi esensial” dari setiap ikatan cinta yang autentik, termasuk cinta yang diinginkan dan dihayati secara koheren oleh seorang pria dan seorang wanita, dan bukan hanya “ciri yang terkenal” dari perkawinan “Katolik”. Oleh karena itu, sakramen perkawinan dijelaskan kepada pasangan bukan sebagai kewajiban moral atau hukum belaka untuk ditaati, tetapi sebagai hadiah, tawaran rahmat, bantuan yang Allah sediakan secara tepat bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan cinta sejati. Pada akhirnya, pelayanan pastoral suami-istri harus selalu bernada gembira dan berciri kerygmatis – penuh semangat dan sekaligus proaktif – sejalan dengan saran Paus Yohanes Paulus II dan Paus Fransiskus.[44] Kesaksian, keindahan dan dukungan dari keluarga-keluarga Kristen akan dapat membantu para gembala dalam menghadapi tantangan-tantangan ini.[45]

40. Selama masa pertunangan, pasangan diundang ke katekumenat perkawinan. Perhatian khusus hendaknya diberikan kepada mereka yang lebih memilih hidup bersama tanpa perkawinan, namun tetap terbuka terhadap dimensi religius dan bersedia untuk mendekati Gereja. Pasangan ini harus disambut dengan hangat tanpa sikap legalisme, dan dengan penuh pengertian. Dengan pandangan penuh pengertian,[46] mereka disambut dengan hangat dan tanpa mengedepankan legalisme. Penghargaan harus diungkapkan atas “kerinduan akan keluarga” mereka, menghindari tekanan apapun pada mereka, dan hanya mengundang mereka untuk mendengarkan dan berefleksi. Harus dijelaskan kepada mereka bahwa keputusan akhir untuk merayakan sakramen perkawinan akan diambil oleh mereka secara mandiri dan muncul dari keyakinan pribadi, sebagai buah dari masa disermen.[47]

41. Penerimaan dapat dilakukan oleh pasangan suami-istri, dan jika memungkinkan didampingi oleh imam. Penerimaan ini dapat terdiri dari beberapa pertemuan yang diadakan, dalam suasana yang nyaman dan bersahabat, untuk mengenal pasangan tersebut dan memahami alasan mereka yang sebenarnya dalam mengikuti persiapan perkawinan dan perjalanan. Penerimaan ini menjadi saat yang tepat untuk memurnikan motivasi ambigu diri dari alasan-alasan ambigu yang mungkin menjadi dasar permintaan untuk menikah di gereja dan, dalam bagi mereka yang telah pindah agama, menjadi pewartaan awal iman. Kepada para pasangan akan diberikan waktu untuk berpikir bersama, memutuskan dan membuat pilihan yang tepat. Oleh karena itu, ada baiknya dialog dengan para calon dilakukan dalam beberapa saat. Untuk memandu dan memberi substansi pada tindakan introspeksi para pasangan, mungkin berguna untuk membuat refleksi yang dapat menghantar ke pertemuan berikutnya.

42. Baik bagi mereka yang telah menghayati dimensi religius dan gerejawi maupun bagi mereka yang miskin pengalaman iman, penting bahwa calon mengungkapkan kemauan batin untuk memulai perjalanan pertobatan iman melalui masa katekumenat perkawinan. Hanya jika pasangan telah mencapai keputusan yang matang untuk melanjutkan perjalanan iman, mereka dapat masuk ke tahap berikutnya.

43. Seperti yang telah disebutkan di atas, banyak jumlah orang-orang yang dibaptis yang meminta untuk menikah di gereja tanpa pengalaman iman dan keterlibatan gerejawi yang matang, membutuhkan perhatian pastoral yang lebih dari sebelumnya.[48] Situasi seperti ini harus disikapi dengan benar dan penuh kehati-hatian; menghindari solusi yang dangkal dan tergesa-gesa, sebaliknya melihatnya sebagai kesempatan berharga untuk pewartaan dan kedekatan dengan saudara-saudari yang “masih muda dalam iman”. Pasangan seperti ini harus didampingi menuju kepenuhan hidup kristiani dan sakramen perkawinan[49] sedemikian rupa sehingga “setiap pria dan wanita yang menikah, merayakan sakramen perkawinan tidak hanya dengan sah tetapi juga dengan berbuah”.[50]

44. Kepada orang-orang yang tidak menghayati baptisannya, dengan sedikit atau bahkan tanpa pengalaman iman, perlu diundangan yang lebih tegas, untuk mengikuti perjalanan katekumenat, yang ditujukan untuk membuka diri bagi pewartaan, pada pembinaan budi dan hati sesuai dengan ajaran Yesus dan masuk ke dalam kehidupan Gereja. Magisterium dari tiga Paus terakhir, sesungguhnya telah mengangkat dan menegaskan kembali hubungan antara iman dan sakramen perkawinan.[51] Kehadiran iman yang hidup dan nyata dalam pasangan jelas merupakan prasyarat terbaik untuk melangsungkan perkawinan dengan niat yang jelas dan sadar untuk merayakan perkawinan yang sejati: tak terpisahkan dan eksklusif, diarahkan demi kebaikan pasangan dan terbuka untuk keturunan. Meskipun demikian, syarat yang diperlukan untuk menerima sakramen perkawinan dan keabsahannya bukanlah “tingkat iman minimum” tertentu dari pasangan yang ditentukan secara apriori,[52] tetapi niat mereka untuk melakukan apa yang diharapkan oleh Gereja dalam perayaan perkawinan antara orang yang dibaptis.[53]

45. Pada tingkat pastoral, harus dievaluasi dengan cermat bermacam situasi, bagaimana orang yang telah dibaptis itu menunjukkan kecenderungan yang tidak memadai untuk percaya.

Dalam situasi di mana mereka secara tegas dan formal menolak apa yang hendak dilakukan Gereja pada saat perkawinan dirayakan, maka perkawinan yang baru saja dirayakan tidak dapat diterima sebagai sakramen.[54] Kadang-kadang penolakan ini benar-benar muncul dalam budi dan hati para calon mempelai tanpa mereka sadari sepenuhnya atau tidak muncul secara terbuka. Oleh karena itu, para petugas pastoral mempunyai tugas berat untuk mengungkapkan niat yang sebenarnya dari calon pengantin, sehingga mereka sendiri menyadarinya dan menyatakannya dengan tulus kepada para pendamping mereka, untuk menghindari persiapan dan perayaan perkawinan yang hanya akan menjadi tindakan eksternal semata.

Jika, di satu sisi, calon pengantin mempunyai kecenderungan tidak sempurna tanpa menyangkal apa yang diharapkan Gereja, maka mereka tidak boleh dihalangi untuk merayakan sakramen. Para petugas pastoral justru dapat menggunakan situasi ini sebagai kesempatan yang baik bagi pasangan untuk menemukan iman mereka kembali dan mengantarnya untuk lebih semakin dewasa. Hal ini dapat dilakukan dengan kembali ke akar Pembaptisan mereka sendiri, menghidupkan kembali “benih” kehidupan ilahi yang telah disemaikan di dalam diri mereka dan mengajak mereka untuk merenungkan pilihan perkawinan sakramental sebagai peneguhan, pengudusan dan pemenuhan sempurna cinta mereka.[55] Hanya dengan menemukan kembali karunia menjadi orang Kristen – ciptaan baru, anak-anak Allah, yang dikasihi dan dipanggil oleh-Nya – barulah mungkin untuk berdisermen dengan jelas mengenai sakramen perkawinan, dalam kesinambungan dengan identitas baptisnya sendiri dan sebagai pemenuhan panggilan khusus dari Allah. Kebangkitan iman, pada kenyataannya, secara alami mengarah pada pemahaman tentang kekuatan rahmat sakramental yang hadir dalam perkawinan dan kesiapan diri pribadi untuk menyambut dengan cara yang terbaik.[56]

46. ​​Beberapa situasi, yang semakin sering terjadi di setiap wilayah di dunia, patut mendapat perhatian dan tindakan pastoral khusus: misalnya, pasangan-pasangan di mana satu pihak adalah Kristen sementara yang lainnya beragama non-Kristen, atau di mana satu pihak adalah Katolik sementara yang lain adalah dari denominasi Kristen lain, bukan Katolik. Sama halnya pasangan, di mana kedua belah pihak beragama Katolik, tetapi salah satu dari mereka menolak untuk mengikuti proses katekumenat. Dalam semua kasus ini para pastor paroki bertanggung jawab mengusahakan cara terbaik dalam mempersiapkan perkawinan.

47. Pada akhir tahap penerimaan, ketika keputusan untuk mengikuti program katekumenat, calon pengantin akan dapat melangkah ke tahap pembinaan perkawinan pertama (persiapan dekat). Langkah ini dapat diungkapkan dengan Upacara masuk ke dalam katekumenat yang sebenarnya. Upacara harus dilakukan dengan cara yang sederhana untuk menghindari membuatnya tampak seperti “Upacara perkawinan”, dan dapat terdiri dari memperkenalkan calon pengantin kepada umat dalam perayaan hari Minggu, dengan pengantar singkat, doa yang sesuai dengan tujuan dan beberapa tindakan konkret, misalnya penyerahan Kitab Suci harus dijelaskan kepada umat bahwa pasangan-pasangan ini memasuki proses katekumenat, sebagai masa penegasan atas pilihan mereka untuk perkawinan. Atau, terutama jika karena alasan budaya lebih tepat untuk menghindari ritual “publik” dan komunitas, pasangan dapat diundang untuk berdoa secara khusus, dalam kelompok katekumen baru, bersama dengan para tim pendamping, dan termasuk memberi mereka Kitab Suci atau simbol lain yang cocok untuk acara tersebut.

C. Tahap Katekumenat

48. Tahap katekumenat menjadi masa pembinaan dengan jangka waktu yang bervariasi, yang meliputi persiapan dekat, persiapan akhir dan pendampingan selama tahun-tahun pertama perkawinan. Beberapa petunjuk berikut ini dimaksudkan sebagai arahan saja dan harus diterapkan dengan pertimbangan pastoral selaras dengan kemungkinan situasi konkret di setiap keuskupan.

Secara umum, hendaknya persiapan dekat berlangsung kira-kira satu tahun tergantung pada pengalaman iman dan keterlibatan dalam hidup menggereja dari pasangan itu sebelumnya. Setelah membuat keputusan untuk menikah yang dapat ditandai dengan Upacara pertunangan – para pasangan mulai masuk dalam persiapan akhir perkawinan yang berlangsung dalam beberapa bulan, yang ditetapkan sebagai inisiasi nyata ke dalam sakramen perkawinan. Durasi tahap ini harus disesuaikan – kami ulangi – dengan mempertimbangkan aspek agama, budaya, sosial dari lingkungan tempat tinggal dan bahkan situasi pribadi masing-masing pasangan. Yang penting adalah menjaga ritme perjumpaan, sehingga para pasangan terbiasa bertanggung jawab menjaga panggilan dan perkawinan mereka.

Tahap Pertama: Persiapan Dekat

49. Masa Katekumenat perkawinan pada tahap ini akan menjadi sebuah perjalanan iman yang nyata, di mana pesan kristiani akan ditemukan kembali dan ditinjau kembali dalam kebaruan dan kesegarannya yang abadi.[57] Sejalan dengan upaya menghidupkan kembali katekese Inisiasi kristiani ke dalam iman, akan didalami pula sakramen-sakramen inisiasi Kristen – Pembaptisan, Penguatan dan Ekaristi – dan Sakramen Rekonsiliasi. Kitab Suci – khususnya Kejadian, Para Nabi, dan Kidung Agung – harus menjadi acuan tetap bagi pasangan, karena mengandung teks-teks dasar dan simbolis bagi Sakramen Perkawinan. Para calon pengantin juga akan secara bertahap diperkenalkan dengan doa-doa Kristiani – individu, komunitas dan pasangan – untuk membangun kebiasaan berdoa, yang akan sangat mendukung kehidupan perkawinan mereka di masa depan, terutama di masa-masa sulit.[58] Pada tahap ini, persiapan untuk misi khusus pasangan tidak boleh diabaikan, karena perkawinan adalah sakramen yang mengarah kepada misi.[59]

50. Pasangan hendaknya dibantu untuk lebih dekat dengan kehidupan gerejawi dan untuk mengambil bagian di dalamnya.[60] Dengan kelembutan dan kehangatan manusiawi, mereka dapat diundang untuk berpartisipasi dalam saat-saat doa, Ekaristi Minggu, Pengakuan Dosa, retret, tetapi juga saat-saat pesta dan ramah tamah. Undangan itu harus dilaksanakan secara bertahap (sesuai dengan pengalaman konkret pasangan), sehingga setiap pasangan dibantu untuk merasa nyaman dalam berbagai bidang kehidupan komunitas – dalam liturgi, amal kasih, dan pertemuan – tanpa tekanan dan paksaan. Pasangan harus dibantu merasakan seperti penerimaan belas kasih yang “tidak pantas, tanpa syarat dan cuma-cuma”[61] karena telah menerima panggilan dan karunia menjadi bagian dari keluarga besar murid-murid Kristus.

51. Selain meniti kembali inisiasi Kristen ke dalam iman, persiapan dekat juga akan menyajikan inisiasi ke dalam sakramen perkawinan. Untuk alasan ini, pada tahap ini penting untuk mempersiapkan rencana perjalanan refleksi tentang hal-hal positif tentang perkawinan, sehingga pasangan generasi yang lebih baru menjadi lebih sadar akan sakramen. Mereka semakin menyadari karena mereka memahami aspek-aspek penting yang membuatnya sebagai sakramen, dan mengenal rahmat yang mengalir darinya dan hal-hal baik yang dijanjikannya, sehingga mereka mampu mempersiapkan diri untuk menyambut rahmat tersebut dan menerima hal-hal itu sebagai hadiah.[62]

52. Penting dalam tahap ini untuk memperdalam segala sesuatu yang terkait dengan relasi pasangan dan dinamika interpersonal yang menyertainya, dengan “aturan”-nya, hukum pertumbuhan, dan unsur-unsur yang meneguhkan dan yang melemahkannya. Akan sangat bermanfaat bagi pasangan untuk mengenal lebih dalam perbedaan psikologis dan afektif yang khas dari pria dan wanita, perbedaan kepekaan mereka, perbedaan cara membangun dan memelihara relasi, “nuansa” khas kejiwaan laki-laki dan perempuan yang berperan dalam setiap relasi dua pribadi.[63] Pasangan harus tahu dan memahami realitas antropologis pribadi manusia pada umumnya, dan dua jenis kelamin pada khususnya, yang diciptakan atas kehendak Tuhan, harus diketahui dan dipahami dengan baik karena aspek tersebut menentukan “bahan manusiawi” yang menjadi dasar dasar relasi suami-istri. Ada “kebenaran” pribadi manusia, serta “kebenaran” unik tentang pria dan wanita, yang harus disambut dan diterima, karena segala sesuatu yang bertentangan dengan “kebenaran” ini dan menginjak-injaknya, bahkan di perkawinan, menimbulkan ketidaknyamanan dan penderitaan.[64]

53. Ada juga banyak aspek lain yang berkaitan dengan realitas manusia baik pribadi maupun pasangan yang perlu diperdalam secara tepat: dinamika manusiawi seksualitas suami-istri, pemahaman yang benar tentang orang tua yang bertanggung jawab, dan pendidikan anak-anak. Katekese dan ajaran kristiani akan membantu memperkokoh pengetahuan tentang kebenaran yang berkaitan dengan perkawinan dan pembinaan hati nurani pribadi.[65] Pada tahap ini, pengalaman suami-istri yang telah menikah selama beberapa tahun dapat menjadi dukungan yang sangat berharga.

54. Sementara para pasangan mendalami realitas manusiawi pribadi dan pasangan ini, mereka juga harus menyadari kemungkinan adanya kekurangan psikologis dan/atau afektif, yang dapat melemahkan atau bahkan membatalkan keputusan pemberian diri dan cinta timbal balik yang dijanjikan oleh pasangan. Namun, penemuan kekurangan pribadi pada akhirnya tidak harus mengakitbakan keputusan untuk meninggalkan hidup perkawinan, melainkan dapat menjadi pendorong untuk memulai proses pertumbuhan yang lebih serius untuk mempersiapkan seseorang sampai pada kondisi kebebasan dan kedewasaan batin untuk menjalani kehidupan perkawinan dengan sukacita dan ketenangan.[66]

55. Tujuan khusus dari tahap ini adalah supaya masing-masing pasangan mengambil keputusan akhir atas panggilan perkawinan mereka. Hal ini dapat mengarah pada keputusan yang bebas, bertanggung jawab dan bijaksana untuk menikah, atau dapat mengarah pada keputusan yang sama-sama bebas dan bijaksana untuk mengakhiri relasi dan tidak menikah. Untuk membantu materi disermen pasangan, pada dalam tahap ini akan diperdalam tidak hanya tentang teologi perkawinan, tetapi juga banyak aspek lain yang terkait dengan “praktik” kehidupan perkawinan. Aspek-aspek itu mencakup: niat yang dimiliki seseorang untuk mengambil keputusan seumur hidup dan sehubungan dengan keturunan; potensi ketidakcocokan, harapan dan visi pribadi yang dimiliki masing-masing tentang cinta dan kehidupan perkawinan. Tujuannya adalah membantu mereka memahami perbedaan antara “mempersiapkan pernikahan” dan “mempersiapkan hidup perkawinan”.

Pasangan masa depan diundang untuk melihat secara realistis dan tulus – masing-masing pribadi mereka sendiri dan bersama-sama – apakah perkawinan itu sesuai dengan apa yang mereka inginkan dan sesuai dengan kehendak Tuhan atas mereka.[67] Kebijaksanaan seperti itu, harus dilakukan juga dalam konteks rohani, dialog pribadi dan pasangan, tidak boleh diremehkan, mengingat bahwa pengalaman tribunal gerejawi menunjukkan kerapuhan ekstrem dari pasangan yang, terlepas dari iman dan antusiasme awal mereka, tidak memiliki persyaratan mendasar yang diperlukan untuk menikah yaitu: kemampuan dan kehendak.[68]

56. Setiap individu harus didampingi dalam perjalanan refleksi, pertobatan, dan pemahaman mereka tentang makna kehidupan perkawinan dalam sikap hormat, kesabaran dan belas kasihan.[69] Namun, logika belas kasihan tidak pernah mengaburkan “tuntutan kebenaran dan cinta kasih Injil yang diwartakan oleh Gereja”.[70] Dan pada saat yang sama, Gereja tidak boleh gagal untuk mewartakan rencana ilahi untuk cinta dan perkawinan manusia dalam segala keindahan dan keagungannya.[71] Cita-cita tertinggi dan paling mulia itu tampaknya menuntut dan sulit, tetapi cita-cita itu juga yang paling kuat menarik jiwa manusia, merangsangnya untuk mengatasi dirinya sendiri dan memberikan nilai dan martabat pada keberadaan duniawi kita.

57. Dalam hal ini, Gereja tidak boleh takut untuk mewartakan nilai kesucian yang berharga,[72] meskipun sekarang ini bertentangan langsung dengan mentalitas umum. Kesucian harus disajikan sebagai “sekutu cinta” yang autentik, bukan sebagai lawan. Kesucian, pada dasarnya, adalah cara istimewa untuk belajar menghormati individualitas dan martabat orang lain, tanpa menundukkan mereka pada keinginan sendiri. Kesucian mengajarkan kepada pasangan yang sudah menikah waktu dan cara cinta yang sejati, lembut dan murah hati, dan mempersiapkan mereka untuk pemberian diri yang autentik untuk dijalani seumur hidup dalam perkawinan.[73] Oleh karena itu, keutamaan kesucian harus dijelaskan dalam dimensi negatifnya, yang mengharuskan setiap orang untuk menjauhkan diri dari penggunaan seksualitas yang tidak teratur sesuai dengan situasi hidup mereka, tetapi juga dalam dimensi positifnya yang sangat penting yang merupakan syarat kebebasan dari keinginan menguasai orang lain dari sudut pandang fisik, moral dan rohani. Kebebasan ini, dalam hal panggilan untuk menikah, sangat penting untuk mengarahkan dan memelihara cinta suami-istri, menjaganya dari manipulasi apa pun. Pada akhirnya, kesucian mengajarkan seseorang untuk setia pada kebenaran cintanya dalam setiap situasi hidup. Bagi pasangan yang bertunangan, ini berarti hidup dalam kemurnian dan, setelah menikah, menjalani keintiman perkawinan dengan kejujuran moral.[74]

Kesucian yang dihayati dalam penguasaan diri memungkinkan sebuah relasi menjadi matang secara bertahap dan mendalam. Memang ketika, seperti yang sering terjadi, dimensi seksual-genital menjadi elemen utama, jika bukan satu-satunya, yang menyatukan pasangan, semua aspek lain pasti memudar atau menjadi kabur dan relasi tidak berkembang. Sebaliknya, kesucian yang terpelihara memungkinkan pasangan yang bertunangan untuk mengenal satu sama lain dengan lebih baik. Ini karena mencegah hubungan yang terpaku pada eksploitasi fisik orang lain, memungkinkan untuk dialog yang lebih mendalam, keterbukaan hati yang lebih luas dan munculnya semua aspek kepribadian – manusiawi dan rohani, intelektual dan emosional – sedemikian rupa sehingga memungkinkan pertumbuhan sejati dalam relasi, dalam persekutuan pribadi, dalam penemuan kekayaan dan keterbatasan orang lain: dan itulah tujuan sebenarnya dari masa pertunangan.[75]

Bahkan ketika membahas tentang pasangan yang hidup bersama, tidak pernah sia-sia berbicara tentang keutamaan kesucian. Keutamaan ini mengajar setiap orang yang dibaptis, dalam setiap kondisi kehidupan, penggunaan yang benar dan mulia dari seksualitas mereka, dan untuk alasan ini, juga dalam kehidupan perkawinan. Sebagai pasangan, pada kenyataannya, pentingnya nilai-nilai dan kesadaran yang diajarkan oleh keutamaan kesucian muncul bahkan lebih jelas lagi: menghormati orang lain, kepedulian untuk menundukkan orang lain pada keinginan diri sendiri, kesabaran dan kelembutan dengan pasangan dalam saat-saat kesulitan fisik dan spiritual, ketabahan dan penguasaan diri, yang diperlukan pada saat sakit atau meninggal, dan lain-lain.[76] Juga dalam konteks ini, pengalaman pasangan suami-istri kristiani akan dapat berguna untuk membantu menjelaskan pentinya keutamaan kesucian dalam perkawinan dan keluarga.

58. Perhatian khusus harus diberikan pada metode rohani yang dipakai selama tahap persiapan berikutnya. Dalam masa pembinaan dan inisiasi ini, penyampaian materi teoritis perlu disertai dengan ajakan untuk melakukan perjalanan rohani yang mencakup pengalaman doa (pribadi, komunal dan pasangan), perayaan sakramen, retret rohani, saat adorasi Ekaristi, pengalaman misioner, kegiatan amal (sesuai dengan konteks pastoral).

59. Pada akhir tahap ini, Upacara Pertunangan dapat dilangsungkan sebagai tanda masuk ke tahap persiapan akhir berikutnya. Upacara ini – yang mencakup pemberkatan pasangan yang bertunangan dan cincin pertunangan (di mana kebiasaan ini digunakan) – mengungkapkan makna penuhnya hanya ketika dirayakan dan dihayati dalam iman, karena di dalamnya Tuhan ingan agar rahmat itu bertumbuh dalam kasih dan siap secara layak bagi sakramen perkawinan.[77] Saat yang paling tepat untuk perayaan Upacara ini akan dipilih dalam dialog dengan anggota tim pendamping dan pastor yang ditahbiskan.

60. Upacara pertunangan, dalam nilai pribadi dan gerejawinya, tentu harus dievaluasi kembali sebagai saat penting dalam perjalanan iman menuju sakramen perkawinan. Dalam Upacara ini Gereja “menyerahkan” kepada pasangan misi pertunangan, yang terdiri dari disermen. Dengan proses ritual ini, pasangan menjadi lebih sadar akan kenyataan bahwa di bulan-bulan mendatang mereka dipanggil untuk mencapai kepastian batin tentang keputusan untuk menikah dan tentang orang yang akan dinikahinya. Setiap orang harus menggunakan pertimbangan manusiawi yang bijaksana dan dalam terang iman untuk merumuskan dalam hatinya kesimpulan tentang pasangan masa depan mereka: “Orang ini adalah pasangan yang akan hidup bersamaku dalam relasi cinta yang autentik, setia dan abadi dan pasangan untuk membangun bersama keluarga di masa depan kami bersama; Ia adalah pendamping yang telah diberikan Tuhan kepadaku untuk berjalan bersama di jalan kekudusan, dan yang akan menjadi ayah/ibu bagi anak-anak yang diberikan Tuhan kepada kami dan yang bersamanya melaksanakan “misi” perkawinan seumur hidup. Tujuan dan misi dari discernmen ini adalah untuk sampai pada kepastian ini dan merupakan tanggung jawab yang dipercayakan Gereja kepada pasangan itu, mengundang mereka untuk menerimanya dengan sungguh-sungguh.

61. Upacara pertunangan juga dipahami sebagai “janji perkawinan”.[78] Namun, dari janji ini, sama sekali tidak ada kewajiban hukum untuk menikah dan kebebasan pihak yang membuat perjanjian dalam menyatakan persetujuan perkawinan selalu dijaga. Selain itu perayaan Upacara ini tidak boleh disamakan dengan perkawinan: karena alasan inilah dianjurkan untuk tidak pernah ada “perkawinan” (janji perkawinan). Untuk alasan itu, baik janji perkawinan maupun berkat khusus bagi pasangan yang bertunangan tidak boleh dilakukan selama Perayaan Ekaristi.[79] Tata upacara haruslah sederhana dan khidmat: Upacara awal, pewartaan Sabda Allah, doa umat, “tanda komitmen” (misalnya pertukaran cincin pertunangan), doa berkat dan Upacara penutupan. Penting untuk secara eksplisit mengingatkan pada tema panggilan perkawinan, dan bahwa bacaan Kitab Suci dan doa yang digunakan dipusatkan pada cinta suami-istri, yang dimurnikan, dikuatkan, dibuat stabil dan murah hati oleh kasih Allah yang dicurahkan ke dalam hati manusia.

62. Kenyataannya, dalam tahap rancangan perjalanan ini, “status” pasangan yang bertunangan, entah dibuat secara resmi, adalah sangat penting dan juga harus dipahami dalam relevansi sosial dan gerejawinya. Untuk orang yang hidup bersama, misalnya, status baru ini dapat membantu memberikan aspek “objektif” dalam relasi mereka – mungkin sebelumnya hanya dipahami oleh beberapa pasangan yang hidup bersama sebagai personal dan pribadi – dengan memberinya nafas publik, yang dapat membuat mereka merasa menjadi bagian dari komunitas yang ramah, yang menemani mereka dan peduli dengan persatuan mereka. Tahap ini juga bermanfaat sebagai undangan bagi semua pasangan yang bertunangan, untuk memahami bahwa kondisi masa depan mereka sebagai “pasangan”, yang sedang mereka persiapkan, jauh melampaui hubungan afektif mereka, terbatas pada lingkup pengalaman emosional pribadi, dan akan melahirkan sebuah realitas baru – sebuah keluarga, yang memiliki peran sosial dan gerejawi yang sangat penting.[80]

63. Ringkasnya, tujuan persiapan dekat adalah: a) meninjau kembali katekese inisiasi ke dalam iman Kristen dan untuk menarik pasangan ke dalam hidup gereja; b) mengalami inisiasi khusus ke dalam sakramen perkawinan dan sampai pada kesadaran yang jelas akan hal-hal yang mendasar dari sakramen perkawinan; c) memperdalam pemahaman tentang relasi pasangan dan untuk menyadari kekurangan psikologis dan afektif mereka; d) untuk melengkapi tahap pertama dari penegasan pasangan tentang panggilan perkawinan; e) melanjutkan perjalanan rohani dengan lebih tegas. [81]

Tahap Kedua: Persiapan Akhir

64. Persiapan akhir perkawinan berlangsung dalam bulan-bulan menjelang perayaan perkawinan.[82] Tahap ini dapat diawali dengan retret rohani singkat dan dengan penyerahan tanda simbolis, misalnya doa yang dapat didoakan bersama oleh pasangan ketika mereka bertemu.

65. Akan tepat untuk mengingat kembali isi utama dari perjalanan persiapan yang ditempuh hingga sekarang ini. Perlu ditekankan pentingnya kondisi kebebasan yang mutlak diperlukan (dalam diri para pasangan) dan kesadaran penuh akan komitmen yang diambil dalam pilihan yang akan dibuat. Komitmen itu terkait dengan ciri-ciri dasar perkawinan (tidak dapat diceraikan, kesatuan, kesetiaan, kesuburan) dan yang akan menjadi objek khusus dari penyelidikan kanonik yang direncanakan dengan pastor paroki.[83]

Pada saat yang sama, aspek doktrinal, moral dan spiritual dari perkawinan akan dalami kembali. Dengan cara ini, poin-poin penting inisiasi ke dalam sakramen perkawinan yang sudah dilakukan pada tahap persiapan sebelumnya dapat diingat kembali. Selain itu, isi materi itu dapat diberikan sebagai “pewartaan Injil perkawinan” yang nyata bagi pasangan-pasangan yang tidak mengikuti tahap sebelumnya.[84] Dalam aneka situasi, kemungkinan ada beberapa pasangan baru dimasukkan ke dalam perjalanan katekumenal pada tahap ini. Ini berarti bahwa bahwa persiapan akhir merupakan satu-satunya kemungkinan konkret bagi mereka untuk menerima pembinaan minimum menuju perayaan sakramen perkawinan. Bagi pasangan seperti ini, adalah tepat untuk mengadakan wawancara pribadi dengan tim pastoral persiapan perkawinan, supaya mereka merasakan kepedulian dan perhatian, terbantu untuk mendalami bersama beberapa aspek yang lebih pribadi dari pilihan perkawinan, tergantung pada situasi pasangan (mereka mungkin telah mempunyai anak dan hidup bersama dalam waktu yang lama), dan untuk menciptakan hubungan kepercayaan, keramahan dan persahabatan dengan pasangan suami-istri pendampingnya. Pada saat yang sama, pasangan “baru” ini – yang belum mengambil bagian dalam tahap persiapan dekat- juga harus terlibat dalam pertemuan kelompok, sehingga mereka merasa diterima dan dimasukkan ke dalam suasana hidup gerejawi dalam waktu yang relatif singkat.

66. Oleh karena itu, pengalaman rohani harus diberikan secara khusus kepada para pasangan (mendengarkan Sabda, perayaan sakramen, doa pribadi dan komunitas) untuk selalu menempatkan perjumpaan dengan Tuhan sebagai sumber dan pusat semua kehidupan Kristen. Pada dasarnya, selalu ada kebutuhan untuk mengatasi pandangan sosiologis perkawinan dengan membantu membuat pasangan memahami misteri rahmat yang terkandung di dalamnya dan, lebih umum lagi, untuk membantu mereka memahami dinamika hidup rohani kehidupan Kristiani yang menjadi dasar dari perkawinan.

67. Oleh karena itu, akan berguna untuk merumuskan kembali warta kateketis tentang penebusan Kristus yang menyelamatkan kita dari dosa, yang selalu membayangi kehidupan manusia. Pasangan tidak boleh lupa bahwa dosa pada akhirnya adalah ancaman nyata bagi cinta mereka.[85] Keterasingan dari Tuhan jauh lebih serius daripada kelemahan psikologis atau dinamika interpersonal yang tidak sempurna, karena jarak dari Tuhan memicu spiral ketertutupan diri dan keegoisan di hari manusia yang menghalangi cinta sejati karena menghalangi keterbukaan, rasa hormat, kemurahan hati terhadap yang lain. Oleh karena itu, agar setiap hari dapat bertumbuh dalam cinta timbal balik, dosa yang “mengintip” di pintu hati (Kej. 4, 7) harus dikuasai dengan pertolongan kasih karunia. Selain itu, pasangan harus meminta pengampunan Allah dalam Sakramen Tobat, di mana Allah melimpahkan kasih-Nya yang lebih kuat dari dosa apa pun. [86]

68. Saat mereka mendekati perkawinan, pasangan harus menyadari bahwa mereka bukanlah penonton tetapi, dalam nama Kristus, adalah pelayan perayaan perkawinan mereka. Oleh karena itu amatlah penting untuk memberi waktu yang cukup untuk persiapan liturgi bagi pasangan, yaitu untuk membantu mereka memahami secara penuh tanda dan makna Upacara Perkawinan itu.[87] Upacara Liturgi Perkawinan mengandung makna pedagogis, yang meliputi kekayaan antropologis (kehidupan orang), alkitabiah (rencana Allah bagi keluarga), gerejawi (misi keluarga di Gereja dan di dunia), dan rohani (perjalanan pertobatan dan tanggapan terhadap tindakan Roh), sedemikian rupa sehingga seperti sebuah garis besar rute tahap ini. Pasangan harus memahami bahwa bahwa kehidupan perkawinan mereka akan memiliki nilai yang luar biasa sebagai “tanda sakramental”: dalam Upacara perkawinan mereka menjadi sakramen permanen cinta Kristus kepada Gereja. Sama seperti imam yang ditahbiskan dipanggil untuk menjadi “gambar hidup” Kristus Imam Agung, dengan cara yang sama, pasangan Kristen dipanggil untuk menjadi “gambar hidup” Kristus Sang mempelai laki-laki. Lebih dari sekadar kata-kata, cara hidup dan cara berelasi mereka menghadirkan kepada dunia cinta yang murah hati dan total yang dengannya Kristus mencintai Gereja dan seluruh umat manusia.[88] Sungguh, itulah kesaksian luar biasa yang diberikan begitu banyak pasangan Kristiani kepada dunia: kemampuan mereka untuk saling memberikan diri dan memberikan diri kepada anak-anak mereka, kemampuan mereka untuk setia, sabar, pengampunan dan kasih sayang, sedemikian rupa sehingga orang lain dapat melakukannya, merasakan “sumber adikodrati” yang mendasari relasi mereka, sesuatu yang “di luar”, yang tidak dapat dijelaskan secara manusiawi, tetapi yang tak henti-hentinya memelihara cinta mereka, hingga membuatnya tampak nyaris heroik.[89]

69. Mengingat perayaan perkawinan, pasangan harus dilibatkan dalam memilih bacaan Misa dan mungkin beberapa hal lain yang menjadi bagian tertentu dari Upacara (misalnya berbagai model upacara pembuka di pintu masuk, perarakan, saat pemberkatan perkawinan, bentuk-bentuk doa umat beriman, lagu-lagu dan lain-lain).

Salah satu aspek yang harus lebih ditekankan adalah kesadaran akan pencurahan Roh Kudus secara baru selama Upacara perkawinan. Pencurahan Roh Kudus ini merupakan bagian dari dinamisme rahmat yang dimulai dalam Pembaptisan, tetapi juga memberikan arti baru pada kasih ilahi yang ditanamkan dalam diri kita mulai dari Pembaptisan dan yang sekarang diterima sebagai ciri-ciri “kasih amal suami-istri”. Pencurahan Roh yang baru ini membaharui hati pasangan dan membawa cinta suami-istri terarah dan diubah menjadi cinta yang mempunyai daya cinta ilahi yang dalam dan tak habis-habisnya, yaitu “kasih amal suami-istri”.[90]

Orang-orang kudus yang disebut dalam litani juga turut menyampaikan doa permohonan dalam pencurahan ini. Akan sangat membantu bagi pasangan berseru kepada pasangan yang suci/diberkati di zaman kita, yang telah menjadi suami dan istri, ayah dan ibu. Mereka juga dapat mendoakan hal lain bagi pasangan, untuk menghargai martabat hidup perkawinan dalam komunitas gerejawi dan membantu setiap orang memahami keindahan dan kekuatan sakramen ini dalam ekonomi keselamatan.

70. Retret spiritual satu/dua hari akan sangat bermanfaat jika diadakan beberapa hari menjelang perkawinan. Meskipun ini mungkin tampak tidak realistis, mengingat banyaknya tanggung jawab yang harus dilakukan berkaitan dengan perencanaan perkawinan, namun, jika hal itu dilakukan maka mereka akan mendapatkan manfaat yang besar. Sungguh, justru kesibukan banyak banyak tugas praktis yang berkaitan dengan perayaan yang akan datang, dapat mengalihkan perhatian pasangan dari apa yang paling penting: perayaan sakramen dan perjumpaan dengan Tuhan yang datang untuk “tinggal di dalam” cinta manusiawi mereka, mengisinya dengan cinta ilahi-Nya. Kecemasan yang berlebihan mengenai “hal-hal yang harus dilakukan” dapat menyebabkan gangguan dan berisiko, yang mengaburkan semua persiapan rohani yang telah dilakukan selama bulan-bulan sebelumnya. Dalam pengertian ini, retret singkat menjelang perkawinan dapat membantu pasangan untuk kembali memusatkan diri pada hal-hal yang mendasar dan mengalihkan pandangan dari hal-hal sekunder dan, sebaliknya, mengalihkannya pandangan kepada Tuhan, yang datang menemui pasangan dan membawa kepada kepada kepenuhan. Ketika retret yang sesungguhnya tidak mungkin dilakukan, waktu doa yang lebih singkat pun (misalnya pertemuan malam, seperti “doa vigili/berjaga”) dapat berguna untuk tujuan ini. Bagaimanapun juga, undangan retret semacam itu harus memperhitungkan komitmen hidup pasangan yang bersangkutan dan kesempatan konkret mereka untuk meluangkan waktu mengikuti retret sebelum perayaan perkawinan kehilangan maknanya.

71. Menjelang perkawinan, pasangan harus merayakan sakramen tobat, baik selama retret rohani di atas maupun pada saat “vigili” atau bahkan dalam konteks lain. Pengalaman menunjukkan bahwa menerima sakramen tobat – bahkan mungkin membuat pengakuan yang lebih berkaitan dengan dosa sebelumnya yang ditutupi – adalah sesuatu yang sangat penting.[91] Pengalaman menunjukkan bahwa menerima pengampunan Tuhan membuat pasangan akan mampu menyambut rahmat yang disediakan oleh Tuhan bagi mereka dalam sakramen perkawinan dengan lebih baik; karena (sakramen tobat) menghilangkan perasaan bersalah yang mendalam yang “berlarut-larut” dari masa lalu, memberikan kedamaian batin, mengarahkan jiwa menuju rahmat dan belas kasihan Tuhan dan segala sesuatu yang benar-benar penting, mengalihkan perhatian dari satu-satunya aspek perkawinan. Terlebih lagi, pengakuan dosa sebelum perkawinan – yang kadang-kadang terjadi setelah bertahun-tahun “melarikan diri” dari sakramen tobat, – bagi banyak orang menjadi kesempatan untuk kembali ke penghayatan sakramental. Jika memungkinkan, dapat pula diadakan perayaan Sakramen Tobat bersama-sama (Absolusi Umum), yang melibatkan keluarga kandung calon suami-istri, saksi-saksi dan orang lain yang ingin berpartisipasi, sehingga karunia rahmat ilahi juga dicurahkan kepada keluarga asal pasangan, yang juga membutuhkan pendamaian di dalam diri mereka dan perlu dikuatkan dalam persekutuan. Dengan cara ini, semua orang yang mengambil bagian dalam perkawinan akan terbantu untuk menjalani peristiwa ini dengan sikap batin yang benar.

72. Keterlibatan orang tua, saksi dan anggota keluarga terdekat dalam doa menjelang perkawinan, bahkan di luar perayaan Pengakuan Dosa, dapat menjadi kesempatan yang sungguh berarti bagi semua orang untuk berkumpul di sekitar pasangan baru dan bagi kedua mempelai untuk menerima berkat dari orang tua mereka, seperti tradisi yang ada di dalam Kitab Suci (lih. Tob. 10, 11-13; 11, 17). Hal ini juga memungkinkan kerabat dan teman memahami bahwa mereka mewakili dan mewujudkan komunitas gerejawi, yang menyambut keluarga baru ke dalam keluarga besar Gereja dan yang merasa bertanggung jawab untuk mendukung mempelai baru.

73. Sebagai rangkuman, tujuan dari persiapan akhir ini adalah: a) meninjau kembali aspek-aspek doktrinal, moral dan spiritual perkawinan (juga secara jelas mendiskusikan hal-hal penting yang ditekankan dalam penyelidikan kanonik); b) menghayati pengalaman rohani perjumpaan dengan Tuhan; c) mempersiapkan diri untuk ambil bagian secara sadar dan bermanfaat dalam liturgi perkawinan. [92]

Tahap Ketiga: Pendampingan di Tahun-tahun Pertama Hidup Perkawinan

74. Perjalanan katekumenat tidak berakhir dengan perayaan perkawinan. Bahkan, seluruh proses tidak harus dipahami sebagai sebuah kegiatan yang berdiri sendiri, tetapi harus dilihat sebagai sebuah perjalanan untuk masuk ke dalam “situasi permanen”, yang membutuhkan “pembinaan berkelanjutan” yang khusus, yang meliputi refleksi, dialog dan bantuan dari Gereja.[93] Oleh karena itu, pasangan yang baru menikah perlu “didampingi” setidak-tidaknya pada tahun-tahun pertama hidup perkawinan mereka,[94] jangan sampai mereka dibiarkan sendirian.[95]

75. Pasangan baru harus disadarkan bahwa perayaan perkawinan adalah awal dari sebuah perjalanan, dan menjadi pasangan itu sendiri merupakan “sebuah proyek yang terbuka”, bukan “pekerjaan yang sudah selesai”. [96] Oleh karena itu, pasangan baru perlu dibantu dalam fase awal perkawinan ini di mana mereka mulai mewujudkan “rencana hidup” yang tertulis dalam perkawinan ke dalam hidup yang nyata, tetapi belum sepenuhnya terwujud. Sesungguhnya, rahmat yang terkandung dalam sakramen tidak bekerja secara otomatis, tetapi menuntut pasangan baru untuk bekerja sama dalam memikul tugas, tanggung jawab dan tantangan yang muncul dalam kehidupan perkawinan.[97]

76. Untuk mencapai semua ini, pasangan baru harus diberi kesempatan untuk melanjutkan perjalanan katekumenal melalui pertemuan berkala – mungkin bulanan atau jarak waktu lain sesuai dengan kebijaksanaan dari para tim pendamping dan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pasangan – maupun pertemuan lainnya, baik sebagai komunitas maupun sebagai pasangan.[98] Jika pasangan itu berpindah dari paroki tempat mereka menikah, ada baiknya mereka menggabungkan diri ke dalam paroki baru dan mereka diundang untuk mengikuti pendampingan dari komunitas baru tersebut.

77. Ini adalah saat yang tepat untuk menawarkan “mistagogi perkawinan” yang sesungguhnya. Istilah “mistagogi” berarti “pengantar ke dalam misteri”; dengan kata lain, adalah suatu katekese tertentu dari abad-abad awal kekristenan yang oleh para gembala gereja ditujukan kepada orang-orang yang baru dibaptis untuk membantu mereka memahami apa yang telah terjadi dalam Pembaptisan yang mereka terima dalam Upacara Agung Malam Paskah.[99] Katekese mistagogis, pada kenyataannya, sering diselingi oleh pertanyaan-pertanyaan retoris seperti: «Tahukah anda apa yang telah anda terima?», «Tahukah anda apa yang telah dilakukan Tuhan di dalam diri anda?». Oleh karena itu, katekese ini, setelah perayaan Pembaptisan, dimaksudkan untuk menuntun para baptisan baru secara bertahap memperdalam pemamahan mereka tentang sakramen, pertama-tama mengenai upacaranya dan makna simbolisnya – dengan menjelaskan makna rohani dari setiap upacara – tetapi juga dalam penerapan moral dan eksistensialnya. Dengan demikian, orang-orang yang baru dibaptis tercerahkan bagaimana penerapannya pada kehidupan konkret dari apa yang telah dirayakan.

Gaya katekese mistagogis ini dapat diterapkan pada perkawinan. Dengan melihat kembali berbagai peristiwa dalam dalam upacara perkawinan, makna simbolis dan rohani yang kaya dapat digali secara mendalam, beserta penerapannya dalam kehidupan perkawinan. Aspek-aspek itu meliputi: saling menerimakan janji perkawinan (keinginan untuk bersatu, dan bukan perasaan sesaat yang menjadi dasar perkawinan, kehendak yang selalu perlu dikuatkan),[100] pemberkatan benda-benda suci yang mengingatkan akan perkawinan, misalnya cincin (janji setia untuk selalu perlu diperbarui),[101] berkat mempelai (berkat Allah yang dicurahkan dalam relasi manusia membungkusnya dan menguduskannya, sebuah rahmat yang memerlukan keterbukaan terus menerus),[102] pengenangan pasangan dalam inti Doa Syukur Agung (cinta suami-istri selalu disatukan dalam misteri Paskah Kristus untuk menghidupkannya kembali dan membuatnya semakin dalam).[103] Pada akhirnya, katekese perkawinan mistagogis, sebagaimana katekese baptis, menyampaikan undangan berikut kepada pasangan: «Jadilah diri kalian apa adanya! Sekarang kalian sudah menikah, jadi hiduplah senantiasa sebagai pasangan yang sudah menikah! Tuhan telah memberkati dan “memenuhi” persatuan kalian dengan kasih karunia, jadi gunakanlah kasih karunia ini dengan baik!». Untuk tujuan ini, pasangan harus dibantu untuk merasakan kehadiran Kristus dalam sakramen itu sendiri, tidak hanya dalam sakramen-sakramen lain. Kristus hadir di tengah-tengah mereka sebagai pasangan: Dia memelihara hubungan mereka setiap hari dan mereka dapat berpaling kepada-Nya bersama di dalam doa. Rahmat sakramen bekerja di antara mereka dan diwujudkan secara nyata dalam kehidupan. Oleh karena itu, pasangan harus dibantu untuk memahami “tanda-tanda” kehadiran Kristus dalam persatuan mereka.[104]

Sering terjadi pasangan muda memusatkan perhatian mereka pada kebutuhan untuk mencari nafkah dan membesarkan anak-anak, sehingga mereka tidak lagi memperhatikan kualitas hubungan timbal balik dan melupakan kehadiran Tuhan dalam cinta kasih mereka. Pasangan muda harus dibantu untuk belajar menemukan waktu untuk memperdalam persahabatan mereka dan untuk menyambut rahmat Tuhan. Kesucian pranikah tentu saja mendukung perjalanan ini, karena hal itu akan memberi waktu kepada pasangan baru untuk bersama saling mengenal satu sama lain dengan lebih baik, tanpa dipaksa oleh situasi untuk memikirkan prokreasi dan pengasuhan anak.

78. Sejak awal kehidupan perkawinan, pasangan perlu menerima bantuan nyata untuk menjalani relasi antarpribadi dengan tenang. Ada banyak hal baru yang bisa dipelajari: menerima perbedaan orang lain, yang dengan mudah terlihat;[105] mengatasi harapan yang realistis tentang hidup sebagai pasangan dan belajar melihat perkawinan sebagai jalan pertumbuhan;[106] mengelola konflik yang tak tehindarkan;[107] mengetahui tahap-tahap yang dilalui oleh setiap hubungan cinta;[108] dialog terbuka untuk mencari keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan kebutuhan pasangan dan keluarga;[109] menciptakan kebiasaan harian yang sehat;[110] menjalin hubungan yang benar dengan keluarga asal;[111] memelihara bersama spiritualitas suami-istri;[112] dan banyak lagi. Di antara berbagai kemungkinan usulan, pasangan dapat disarankan untuk membuat “Buku Harian Perkawinan”, untuk mencatat suka duka dan segala pengalaman konkret hidup mereka, sebagai semacam verifikasi berkala dari persekutuan suami-istri. Buku harian itu akan menjadi semacam “tulisan suci”, untuk mengingat setiap peristiwa penting dalam hidup yang disentuh oleh rahmat Roh Kudus dan yang dapat menjadi sarana sharing iman dalam keluarga: “kenangan akan” rahmat Roh Kudus yang berkarya dalam keluarga.

79. Ada banyak aspek kehidupan perkawinan dan keluarga yang dapat menjadi bahan dialog dan katekese pada tahun-tahun awal ini. Hal ini penting, misalnya, memberikan penjelasan yang sederhana namun lengkap kepada pasangan tentang tema sensitif seksualitas dalam perkawinan[113] dan tentang masalah yang terkait dengannya, yaitu penerusan kehidupan dan pengaturan kelahiran, dan persoalan moral dan bioetika.[114] Bidang lain yang tidak boleh diabaikan adalah pendidikan anak-anak, baik dalam hal kemanusiaan maupun kekristenan, yang merupakan tanggung jawab serius orang tua. Pasangan suami-istri harus diingatkan dan dibina secara memadai dalam bidang ini, mengingat kecenderungan yang semakin meluas untuk memisah-misahkan masalah ini atau tidak mau berurusan dengan pendidikan anak-anak, tetapi mendelegasikannya kepada orang lain.[115] Mengacu pada tema-tema ini, ajaran Gereja menyediakan harta kebijaksanaan bagi pasangan yang, jika diberikan dengan baik, akan sangat mereka hargai dan sambut.

80. Oleh karena itu, tahap katekumentat ini merupakan salah satu dari “magang” di mana kedekatan dan nasihat konkret dari pasangan yang lebih berpengalaman akan sangat membantu, karena mereka dapat berbagi dengan pasangan muda tentang apa yang telah mereka pelajari di “sepanjang perjalanan”.[116] Hadirnya kakek-nenek yang merawat cucu mereka juga merupakan sumber yang bagus. Hal ini memungkinkan pasangan suami-istri itu meluangkan waktu untuk bersama. Namun, terkadang, bantuan seperti itu tidak datang, sehingga memaksa pasangan itu mencari penyelesaian lain. Contoh kemurahan hati dan bantuan seperti itu kepada pasangan muda adalah tanda kasih amal yang luar biasa.

81. Pelayanan pastoral perkawinan harus berpusat pada ikatan perkawinan.[117] Pasangan harus dibantu setiap kali mereka menghadapi kesulitan-kesulitan baru, terutama untuk mempertahankan dan meneguhkan ikatan perkawinan mereka, demi untuk kebaikan mereka mereka sendiri dan anak-anak mereka. Pertemuan pasca-perkawinan harus menegaskan kesucian ikatan perkawinan dan, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman, pada fakta bahwa hal-hal rohani, psikologis dan material – yang berasal dari pemeliharaan persatuan, selalu jauh lebih unggul daripada kemungkinan perpisahan. Pendekatan seperti ini akan mengajarkan kesabaran, ketabahan, dan kehati-hatian yang tepat yang perlu dimiliki di saat-saat sulit, belajar untuk tidak melihat pemutusan ikatan perkawinan sebagai penyelesaian masalah, seperti yang sering dianjurkan.

Dengan belajar mengatasi saat-saat sulit, pasangan akan menjadi dewasa dalam kasih dan persatuan mereka pun diteguhkan: setiap krisis adalah saat pertumbuhan dan kesempatan untuk membuat “lompatan kualitatif” dalam relasi, untuk semakin menjadi lebih mendalam dan bertumbuh secara autentik.[118] Sama seperti dalam kehidupan Kristen, seseorang “bertanding” dalam “pertandingan iman” (1 Tim 6:12), demikian pula dalam kehidupan perkawinan, pasangan harus melatih diri untuk “mempertahankan” perkawinan mereka dari segala ancaman internal dan eksternal, manusiawi dan rohani, sosial dan budaya yang dapat merusak keteguhan dan eksistensinya. Pasangan harus ditawari bantuan dalam bentuk  pendampingan rohani, hal-hal praktis, strategi yang diperoleh dari pengalaman dan bimbingan psikologis. Akan berguna juga untuk menunjukkan kepada pasangan tempat dan orang-orang – pusat konseling atau keluarga yang menyediakan diri – yang dapat mereka hubungi untuk mencari bantuan jika kesulitan muncul.

82. Perjalanan pasangan harus difokuskan pada perjumpaan dengan Kristus: pasangan perlu terus-menerus berpaling kepada Kristus dan dipelihara oleh kehadiran-Nya. Secara khusus, pengantin baru harus merasakan kesempatan luar biasa yang ditawarkan kepada mereka dalam sakramen Ekaristi dan dalam Sakramen Rekonsiliasi untuk memiliki relasi yang hidup dengan Yesus dan kesempatan untuk menjadi serupa dengan-Nya.[119] Ekaristi menawarkan kepada pasangan rahmat yang mengatasi ketertutupan dan keegoisan mereka sendiri.[120] Sakramen Tobat menawarkan kepada pasangan kekayaan belas kasih Allah yang tak terbatas, yang di dalam Putra-Nya selalu mengampuni kita; dengan cara ini, mereka belajar menggunakan kesabaran dan belas kasihan di antara mereka sendiri, karena pengampunan yang diterima menjadi pengampunan yang diberikan, sesuai dengan ajaran Yesus: “Bukankah kamu juga harus mengasihani saudaramu, sama seperti Aku telah mengasihani kamu?” (Mat. 18:33).[121] Oleh karena itu, perjumpaan dengan Kristus dalam sakramen-sakramen secara bertahap membantu pendewasaan identitas perkawinan yang unik dari pasangan suami-istri kristen, identitas khusus pasangan dari pasangan Kristen berangsur-angsur menjadi matang.

83. Pemeliharaan Gereja yang tetap dan terus menerus terhadap pasangan dapat diwujudkan melalui berbagai karya pastoral:[122] mendengarkan Sabda Allah, terutama melalui lectio divina; pertemuan untuk berefleksi atas isu-isu terkini berkaitan dengan kehidupan perkawinan dan keluarga; keterlibatan pasangan dalam perayaan liturgi yang dirancang khusus untuk mereka; retret rohani berkala untuk pasangan; Adorasi Ekaristi diselenggarakan untuk pasangan dengan meditasi yang diambil, misalnya, dari biografi pasangan suci; percakapan dan iringan rohani; partisipasi dalam kelompok keluarga untuk mengembangkan dialog dengan keluarga lain; keterlibatan dalam kegiatan amal dan misioner.[123] Pasangan perlu mengembangkan “spiritualitas perkawinan” yang benar dan tepat yang memelihara dan menopang jalan unik menuju kekudusan yang mereka tempuh dalam kehidupan perkawinan.[124]

Ulang tahun perkawinan harus dirayakan sebagai bagian dari perayaan liturgi komunitas, bersama dengan berkat khusus untuk pasangan. Pada hari-hari besar (misalnya, setiap lima tahun), pembaruan sumpah pernikahan dapat disarankan kepada kedua mempelai. Sarana pastoral ini dan lainnya dapat membantu keluarga merasa bahwa mereka adalah bagian integral dari komunitas Gereja mereka, karena itu merayakan bersama mereka dan berbagi kegembiraan dan perjalanan mereka, sehingga menjadi “keluarga keluarga”[125]

84. Dengan berkembangnya identitas pasangan, kesadaran akan tugas perutusan, yang muncul dari sakramen, dapat tumbuh.[126] Oleh karena itu ketika perjalanan katekumenal kehidupan perkawinan telah berakhir pada saat ini, pasangan perlu diundang untuk bergabung dalam pelayanan keluarga, biasa di paroki-paroki mereka atau dalam kegiatan gerejawi lain yang berhubungan dengan mereka. Pengantin baru, misalnya, dapat diundang secara bertahap untuk mengambil bagian dalam persiapan katekumenat perkawinan untuk kelompok-kelompok baru dari pasangan yang bertunangan dan dalam kehidupan komunitas, dalam pendampingan pastoral anak-anak dan orang muda, mengambil peran khusus dalam organisasi komunitas. Mereka juga dapat membentuk kelompok spiritualitas suami-istri (juga dengan bantuan gerakan keluarga apa pun) dan membuat reksa pastoral perkawinan.

85. Singkatnya, tujuan pendampingan pada tahun-tahun pertama kehidupan perkawinan adalah: a)menyajikan, dalam “katekese perkawinan mistagogis”, yang menggali penerapan rohani dan eksistensial dari sakramen perkawinan; b) membantu pasangan meniti jalan yang sehat dalam relasi antara pribadi mereka sejak awal; c) menggali secara mendalam tema-tema seksualitas dalam kehidupan perkawinan, penerusan kehidupan dan pendidikan anak; d) menanamkan dalam diri pasangan tentang kehendak yang kuat untuk mempertahankan ikatan perkawinan dalam setiap situasi krisis yang muncul; e) memfasilitasi perjumpaan dengan Kristus sebagai sumber pembaruan rahmat perkawinan yang tak tergantikan dan memupuk spiritualitas perkawinan; f) mengingatkan kembali kesadaran akan perutusan khusus setiap pasangan kristiani.

86. Sebagai konsekuensi logis dari usulan tersebut, sangat mendesak untuk memberikan pembinaan yang lebih memadai bagi para imam, seminaris, kaum awam (termasuk suami-istri) mengenai pelayanan pendampingan kaum muda menuju perkawinan. Para imam/religius dan petugas pastoral hendaknya menerima pembinaan yang berkelanjutan dan sistematis mengenai katekumenat perkawinan, untuk mengatasi kebiasaan-kebiasaan lama dan untuk dibentuk dalam gaya pendampingan dan pemahaman isi (teologis, moral, bioetika, dan spiritual) yang relevan untuk pasangan zaman modern, yang sering kali sudah hidup bersama dan membesarkan anak-anak ketika mereka datang ke Gereja untuk menikah. Dalam banyak konteks pastoral, khususnya, pembinaan yang tepat dari para seminaris dan imam terbukti sangat diperlukan, terutama yang lebih berpusat pada tantangan baru reksa pastoral perkawinan dan keluarga, termasuk masalah yang berkaitan dengan moralitas seksual, perkawinan dan bioetika, yang sekarang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Maka, supaya pasangan petugas pastoral dapat berparisipasi secara efektif dan efisien, adalah penting untuk memahami ikatan saling melengkapi dan tanggung jawab bersama gereja yang ada antara di antar kelompok para imam dan kelompok suami-istri, untuk membantu para imam terbuka terhadap hal-hal besar, bekerja sama dengan kaum awan dan keluarga, mengakui peran penting mereka dalam berpastoral di paroki maupun di tingkat keuskupan. Banyak komunitas Gereja lokal sering gagal memberi pasangan kemungkinan untuk membantu dalam memberikan pelayanan pastoral, tepatnya dalam identitas mereka sebagai pasangan. Tidak diragukan lagi bahwa kesaksian keluarga dan pasangan diperlukan untuk mengungkapkan karakter misioner dari reksa pastoral perkawinan, di samping pendampingan khusus para pastor. Dalam pengertian ini, ecclesia docens (Gereja mengajar) dan ecclesia discens (Gereja belajar) tidak boleh dipisahkan, justru karena kaya dan konkret pengalaman pernikahan dan kehidupan keluarga yang dimiliki oleh pasangan.

Pendampingan Pasangan yang sedang mengalami “Krisis”

87. Dalam perjalanan setiap perkawinan akan muncul saat-saat di mana persekutuan suami-istri berkurang dan pasangan menemukan diri mereka sendiri mengalami masa, kadang-kadang bahkan lama, penderitaan, kelelahan dan kesalahpahaman, melalui “krisis” perkawinan yang nyata. Ini merupakan bagian dari kisah setiap keluarga: “setiap langkah baru di sepanjang jalan dapat membantu pasangan menemukan cara baru menuju kebahagiaan”, membuat “anggur persatuan” mereka semakin matang.[127]

Akan tetapi untuk mencegah situasi krisis semakin memburuk hingga tidak dapat diselamatkan, paroki atau komunitas hendaknya memberikan pelayanan pastoral pendampingan bagi pasangan yang sedang mengalami krisis, sehingga mereka tahu kemana mereka harus pergi dalam situasi seperti itu “hal yang sangat dibutuhkan saat ini adalah pelayanan untuk merawat mereka yang mengalami kehancuran relasi.”[128] Sebenarnya, tindakan pencegahan untuk menghindari keretakan relasi, yang dapat memburuk dan merusak ikatan dengan cara yang tidak dapat diperbaiki, sangat menentukan.

88. Pengalaman menunjukkan bahwa “dalam situasi sulit atau kritis kebanyakan orang tidak mencari bantuan pastoral, karena mereka tidak simpatik, realistis atau perduli pada kasus-kasus pribadi.[129] Sebagai tanggapan, pasangan yang telah mengatasi saat-saat krisis seperti itu harus bergabung bersama dengan para gembala mereka untuk menjadi “pendamping” bagi pasangan yang menghadapi kesulitan atau yang sudah berpisah. Mereka akan menjadi “komunitas pendamping”, yang dapat memberikan kesaksian dan menyatakan bahwa Orang Samaria yang Baik Hati adalah Kristus yang Bangkit, yang menyimpan luka-luka di tubuh-Nya yang mulia dan karena itulah Ia merasakan belas kasihan bagi orang yang terluka, yang ditinggalkan di sepanjang jalan:[130] pasangan yang sedang berada dalam kesulitan.

89. Oleh karena itu, menjadi mendesak untuk mengadopsi program-program pembinaan bagi pasangan yang akan menjadi pendamping bagi mereka yang mengalami krisis dan yang terpisah, untuk mengembangkan pelayanan pastoral yang menjawab kebutuhan keluarga. Perhatian harus dipusatkan pada dua arah: kepada pasangan dalam kesulitan, dan juga kepada anak-anak mereka yang harus disertai dengan perspektif psikologis dan spiritual yang mampu memahami kesusahan pribadi dan keluarga mereka, sambil menawarkan dukungan kepada mereka.

Dalam konteks ini, kita diingatkan kembali tentang betapa pentingnya pendampingan pastoral terhadap ikatan (perkawinan) yang, sejak tahun-tahun pertama kehidupan perkawinan, harus menyertai pasangan muda dalam berbagai tahap kehidupan mereka bersama. Memang, saat-saat krisis merupakan bagian dari perjalanan pernikahan, dan harus diubah menjadi peluang, yang mungkin menghasilkan luka daging dan luka hati yang menyakitkan tetapi selalu menyisakan ruang untuk rekonsiliasi, pengampunan, dan balsem rahmat, yang terus bekerja dalam ikatan sakramental.

90. Ada krisis umum, yang terjadi di semua pernikahan, yang menandai tahap-tahap tertentu kehidupan keluarga (kelahiran anak pertama, pendidikan anak-anak, “krisis sarang kosong” masa lansia dari orang tua). Ada juga krisis pribadi, yang seringkali melibatkan masalah ekonomi, pekerjaan, emosional, sosial, rohani, atau keadaan dan peristiwa yang traumatis dan tak terduga.[131] Dalam semua kasus ini, “seni rekonsiliasi yang sulit, yang membutuhkan dukungan rahmat, membutuhkan kerja sama yang murah hati dari kerabat dan sahabat dan kadang-kadang juga dari bantuan eksternal dan profesional”.[132] Oleh karena itu, pendampingan pada saat-saat ini harus menawarkan bantuan baik psikologis maupun rohani, untuk menemukan kembali makna mendalam dari ikatan perkawinan dan kesadaran akan kehadiran Kristus di antara pasangan, melalui jalur mistagogis yang dipersonalisasi dan Sakramen. Ketika pasangan mengisi hati mereka dengan keheningan, memanggil nama Yesus Kristus, dan mendengarkan suara-Nya, mereka membantu menciptakan kondisi bagi Tuhan untuk memelihara hubungan mereka, menyelamatkan mereka dalam kesulitan, dan berhenti minum bersama mereka dari cawan penderitaan, saat Dia berdiri di sisi mereka seperti Sang Pejalan dengan murid-murid Emaus (Luk. 24:13). Dalam istilah praktis, ini berarti menciptakan kesempatan istimewa untuk memperkenalkan kepada pasangan seni disermen dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pada saat menderita mereka tahu bagaimana mengenali perangkap berbahaya yang harus dihindari dan ketidakdewasaan atau luka yang harus diatasi. Pasangan yang hatinya lelah dapat didesak untuk fokus pada kata-kata: “Tinggallah dalam kasihku” (Yoh. 15:9).

91. Kami menyarankan, sebagai contoh, kemungkinan penerapan praktis dari prinsip-prinsip yang ditetapkan sejauh ini, dengan mengusulkan program ‘perjalanan’ (pendampingan) untuk pasangan dalam krisis, yang diilhami oleh perjalanan Yesus dengan murid-murid Emaus (bdk. Luk. 24,13 dan 35). Ketika paroki sudah mempunyai pelayanan ini, pasangan dapat mengambil bagian dalam jalan bersama pendampingan. Pertemuan “individu” (pasangan tunggal) dapat diselingi dengan pertemuan “kelompok” (melibatkan beberapa pasangan). Program dapat ditata sesuai dengan pola berikut:

  • “Yesus sendiri mendekati mereka dan berjalan bersama-sama dengan mereka” (Luk 24:15) – Pertemuan penyambutan dan perkenalan awal (“individu”).

Pertemuan pertama harus berlangsung secara rahasia dan kedekatan pribadi, sehingga terbatas pada satu pasangan. Mereka harus disambut dan didengarkan oleh pasangan pendamping dan oleh imam, yang berusaha menunjukkan empati, perhatian, dan kesediaan penuh untuk memberikan dukungan. Pertemuan pertama yang sekedar “mendengarkan” ini akan diikuti oleh pertemuan yang mengiringi prosespendampingan yang sebenarnya.

  • “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” (Luk 24:17) – Beberapa pertemuan (“individu”) dibuat untuk mengundang pasangan supaya berkata kepada Allah dan kepada pasangannya mengapa “mereka nampak sedih” (Luk 24.17).

Pertemuan harus selalu diadakan dalam suasana doa, karena ini adalah perjalanan spiritual dan bukan sesi “terapi pasangan” yang murni psikologis. Oleh karena itu, pasangan yang menempatkan diri di hadirat Tuhan, akan dibimbing untuk “membuka hati”, sehingga masing-masing mengetahui “apa yang membuat yang lain menderita”. Para pendamping akan mengantar pada “pembukaan hati” ini agar tidak saling mempersalahkan. Oleh karena itu, pertanyaan yang harus dijawab tidak akan dirumuskan seperti “apa kesalahan anda?”, atau “Apa yang harus anda ubah?”, dan lain-lain, melainkan: “penderitaan apa yang saya alami?”; “Ketidaknyamanan apa yang saya rasakan?”, “Apa yang menyakitiku dalam kami menjalani hubungan kami?”. Memang, pasangan biasanya tidak memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dan bercakap-cakap sedemikian rupa sehingga memungkinkan setiap pasangan untuk berbagi keadaan pikiran atau sudut pandang mereka.

  • “Betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Kristus harus menderita semuanya ini untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?” (Luk. 24, 25-26) – Pertemuan (“kelompok”) dengan berbagai pasangan untuk “menerangi” masa-masa krisis.

Pertemuan individu dengan masing-masing pasangan, dapat dilanjutkan dengan pertemuan kelompok, di mana salah satu pasangan pendamping dapat diundang untuk berbagi pengalaman mereka dan berbagi masa-masa krisis yang mereka alami, dengan menyoroti “hal-hal baru” yang telah mereka pelajari di masa-masa sulit dan cobaan dalam perkawinan. Sesi-sesi tersebut juga dapat diisi dengan pengajaran singkat yang terdiri dari pembacaan dan komentar dari bagian-bagian Amoris Laetitia yang dipilih dengan tepat, atau kutipan dari tulisan-tulisan pasangan suci yang telah berhasil mengatasi masa-masa pencobaan perkawinan. Tujuannya adalah untuk menyoroti bahwa “krisis” – jika diterima, dipahami, dijalani bersama dan dihadapi dengan pertolongan Tuhan – dapat berubah menjadi saat-saat berahmat dan bertumbuh bagi pasangan. Pada akhirnya krisis akan dipahami bukan sebagai “anomali”, tetapi sebagai peristiwa “normal” dalam kehidupan perkawinan, bahkan krisis yang disebabkan oleh kerapuhan dan dosa pribadi. Masa krisis tersebut juga dapat menjadi “penderitaan Kristus” yang hadir bersama pasangan yang terluka oleh dosa-dosa mereka dan menderita bersama mereka, tetapi juga yang masuk bersama mereka ke dalam kemuliaan (bdk. Luk. 24:26) dari hubungan yang disembuhkan dan “ditebus”. Seperti yang telah ditekankan dalam perjalanan katekumenal menuju perkawinan, pertemuan-pertemuan ini harus berisi pewartaan kerygma: Tuhan hadir dan hidup di tengah-tengah kita! Bersama-sama dengan Dia, bahkan “kematian” suatu krisis dapat diubah menjadi kebangkitan dan kehidupan baru!

  • “Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Diadalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musadan segala kitab nabi-nabi” (Luk 24,27) – Pertemuan (“kelompok”) berfokus pada Kitab Suci.

Pertemuan-pertemuan “katekese” sebelumnya dapat diikuti dengan pertemuan kelompok lain di mana pasangan merayakan Liturgi Sabda bersama-sama: sebuah perikop Alkitab diwartakan, diikuti dengan saat untuk meditasi dan berbagi pengalaman dengan beberapa pertanyaan, diakhiri dengan sebuah refleksi akhir yang diberikan oleh para pendamping. Teks-teks Alkitab perlu dipilih dengan cermat sesuai dengan tema, seperti: kedekatan dengan Tuhan dalam masa pencobaan, pengampunan yang diterima dari Tuhan dan dibagikan, anugerah yang bekerja dalam kelemahan, persekutuan hati sebagai buah Roh Kudus, panggilan kekudusan, Sakramen Perkawinan, dan lain-lain.

  • “Tinggallah bersama kami karena hari sudah malam” (Luk 24,29) – Adorasi Ekaristi dan Sakramen Tobat.

Sebuah “Malam Ekaristi” (atau bahkan lebih dari satu) dapat ditawarkan kepada pasangan yang mengikuti ‘perjalanan rohani’ tersebut. Setelah berbagai perjumpaan yang berbicara mengenai krisis yang dialami, pasangan seringkali masih merasa tidak berdaya untuk mengatasi krisis tersebut. Tantangan tampaknya melampaui kekuatan mereka. Mungkin inilah saatnya untuk membawa krisis kepada Tuhan dalam Sakramen Mahakudus, untuk “menghadirkannya” dan “meletakkannya” di kaki-Nya, sehingga Dia menyembuhkan luka dan menyembuhkan hati. Penyampaian krisis kepada Tuhan ini dapat diungkapkan melalui sikap konkret yang dibuat oleh pasangan di hadapan Sakramen Mahakudus (mempersembahkan benda sebagai simbol), dalam upacara liturgi sederhana.

Cara lain bagi pasangan untuk menghayati pengalaman akan Tuhan yang “tinggal bersama kita” adalah melalui perayaan pertobatan. Penerimaan Sakramen Rekonsiliasi itu sangat penting pada saat krisis. Tidak ada yang membantu pasangan menyembuhkan luka dan memaafkan pasangan mereka seperti pengampunan yang diterima dari Tuhan. Sakramen Tobat menanamkan ke dalam jiwa rahmat khusus rekonsiliasi: rekonsiliasi dengan Allah, dengan diri sendiri dan dengan masa lalu, serta dengan sesama. Proses ini membantu menyembuhkan perpecahan dan kerenggangan “batin” antar-pasangan dengan balsem rekonsiliasi dan pengampunan.

  • “Dia mengambil roti, mengucap berkat, memecahkannya dan memberikannya kepada mereka” (Luk. 24,30) – Perayaan Ekaristi.

Pasangan dapat diundang ke satu atau lebih perayaan Ekaristi untuk membantu mereka mengalami bahwa Yesus hidup dan hadir bahkan di tengah krisis. Dialah yang selalu menjadi “roti yang dipecah-pecahkan untuk kita” dan yang telah mengalami penderitaan penolakan dan kesalahpahaman, mengubahnya menjadi kesempatan cinta dan pemberian diri untuk semua. Pasangan juga dapat menerima rahmat ini, agar tidak tetap tertutup dalam rasa sakit mereka sendiri, tetapi untuk mengubahnya menjadi kesempatan untuk cinta yang lebih dalam dan saling memberi diri yang diperbarui.

  • “Kemudian mata mereka terbuka dan mereka pun mengenali Dia. […] Mereka bergegas pergi dan kembali ke Yerusalem” (Luk. 24, 31-33) – Penutup perjalanan.

Pasangan juga dapat diundang untuk menikmati saat-saat relaksasi dan perayaan bersama. Bahkan dalam krisis, orang tidak boleh kehilangan harapan dan membiarkan diri dikuasai oleh pandangan hidup yang negatif. Di atas segalanya, hadirnya saudara seiman yang berada di samping kita dan mendukung kita, dapat mengobarkan kembali rasa percaya dan sukacita di hati.

Pada pertemuan terakhir dapat pasangan dibantu untuk “kembali ke Yerusalem”, yaitu melanjutkan kehidupan perkawinan dengan kebijaksanaan baru yang diperoleh melalui krisis, memanfaatkan dengan baik apa yang telah dipelajari dan menjadi saksi bagi pasangan lain dari pengalaman dan perjumpaan dengan Yesus yang Bangkit.

Pertemuan-pertemuan ini, bagaimanapun, tidak boleh dipandang sebagai perpisahan terakhir. Hidup selalu menghadirkan tantangan baru dan krisis yang mungkin tidak sepenuhnya dapat diatasi. Oleh karena itu, tim pendamping harus meyakinkan pasangan tentang kesiapan mereka yang berkelanjutan untuk menyambut, mendengarkan, dan mendukung mereka di masa depan. Begitu iklim kepercayaan telah terbentuk, pasangan harus terus memiliki seseorang yang dapat mereka hubungi pada saat dibutuhkan. Tim pendamping harus membuat pasangan merasa bahwa Gereja selalu ada untuk mereka, seperti seorang ibu yang selalu siap menyambut anak-anaknya.

Perlu diulangi bahwa, selama program ini, selain ada pertemuan kelompok, mungkin perlu terus mengadakan pertemuan individu dengan setiap pasangan. Ada kalanya bantuan dan dorongan besar dapat diperoleh dari mendengarkan pengalaman orang lain – seperti yang dapat terjadi pada saat-saat berbagi. Di lain waktu pasangan mungkin merasa perlu untuk pertemuan yang lebih pribadi atau kerahasiaan yang lebih besar, agar merasa bebas untuk berbicara tentang cobaan mereka.

92. Model di atas hanyalah sebuah contoh untuk menunjukkan bagaimana proses pendampingan bagi pasangan-pasangan dalam krisis ini juga dapat mengikuti gaya rencana perjalanan katekumenal persiapan perkawinan yang diuraikan di atas. Juga dalam hal ini, metodologi tidak boleh membatasi diri “konferensi” dan penyampaian gagasan, tetapi harus menumbuhkan pengalaman kedekatan manusiawi dan rohani yang melibatkan komunitas Kristen, mencari cara-cara lain untuk pendalaman iman melalui perjumpaan, doa, mendengarkan, berbagi, ibadat, dan perayaan sakramen. Pasangan harus dibantu sepanjang perjalanan pertumbuhan progresif dan diundang untuk berdisermen, semuanya dalam kunci pewartaan kerigmatis. Oleh karena itu, setiap Gereja lokal harus berusaha untuk menciptakan pendekatan katekumenalnya sendiri, dengan caranya sendiri, bahkan mengambil inspirasi dari “model alkitabiah” yang berbeda dari yang diusulkan di sini: misalnya, pertemuan orang Samaria dengan orang yang terluka oleh perampok (Luk. 10:25-37), anak yang hilang yang kembali kepada ayahnya (Luk. 15:11-32), anggur yang habis dan berlimpah lagi pada pesta perkawinan di Kana (Yoh. 2:1-12), perempuan Samaria yang berjumpa dengan Yesus dan menginginkan air hidup yang memuaskan setiap dahaga (Yoh. 4:1-43), bersama dengan orang lain.

93. Terlepas dari semua dukungan yang Gereja tawarkan kepada pasangan dalam krisis, masih ada beberapa situasi di mana perpisahan tidak dapat dihindari. “Kadang-kadang bahkan secara moral diperlukan, tepatnya ketika harus menyelamatkan pasangan yang paling lemah, atau anak-anak kecil, dari luka paling serius yang disebabkan oleh pelecehan dan kekerasan, penghinaan dan eksploitasi, pengabaian dan ketidakpedulian”. Namun “itu harus dianggap sebagai upaya terakhir, setelah upaya wajar lainnya terbukti sia-sia”.[133]

Dalam kasus-kasus ini, “disermen khusus sangat diperlukan untuk pendampingan pastoral bagi mereka yang berpisah, bercerai, atau ditinggalkan. Di atas segalanya, penderitaan mereka yang secara tidak adil mengalami perpisahan, perceraian atau pengabaian, atau telah dipaksa oleh perlakuan buruk dari pasangan mereka untuk memutuskan kohabitasi, harus disambut dan dihargai. Pengampunan atas ketidakadilan yang diderita tidaklah mudah, tetapi tetapi kasih karunia memungkinkan perjalanan ini. Pelayanan pastoral harus mencakup upaya rekonsiliasi dan mediasi, melalui pendirian pusat konseling khusus di keuskupan.” [134]

94. Pada saat yang sama, “orang-orang yang bercerai tetapi tidak menikah lagi dan sering menjadi saksi kesetiaan perkawinan, harus didorong untuk menemukan dalam Ekaristi makanan yang menopang mereka dalam keadaan mereka. Komunitas lokal dan para gembala harus mendampingi orang-orang ini dengan penuh perhatian, terutama ketika ada anak-anak.”[135] Hanya sedikit paroki yang menawarkan pelayanan pastoral kepada mereka. Di sisi lain, situasi khusus mereka, yang dipupuk oleh karunia kesetiaan pada sakramen perkawinan, dapat menjadi saksi dan teladan bagi pasangan muda, serta bagi para imam, untuk menemukan dan “melihat” dalam hidup mereka, kehadiran Kristus Sang Mempelai, yang setia bahkan dalam kesendirian dan pengabaian. Kesendirian mereka dengan demikian “dipenuhi” dengan keintiman Tuhan dan ikatan mereka dengan komunitas Gereja, yang mendekat kepada mereka sebagai pendamping di sepanjang jalan. Dimensi perkawinan dari dua panggilan – imamat dan perkawinan – diwujudkan dalam kasus-kasus ini dalam semua keindahan dan saling melengkapi. Dalam pengertian ini, Gereja perlu menemukan kemampuan umat beriman yang terpisah untuk memberikan pelayanan pastoral, karena mereka dapat memainkan peran yang berarti dalam komunitas mereka dengan datang membantu orang lain.

KESIMPULAN

“Pedoman pastoral” yang ditawarkan di sini, meskipun disadari tidak lengkap, dimaksudkan untuk membantu dan mendorong keuskupan/eparki dan paroki dalam mengembangkan “perjalanan katekumenal kehidupan perkawinan”, sesuai dengan petunjuk Paus Fransiskus. Oleh karena itu, sebagai penutup, kita harus mengingat prinsip-prinsip pastoral yang mengilhami dokumen ini dan yang juga harus menjadi dasar bagi dokumen penerapannya yang akan dikembangkan di Gereja-Gereja partikular.

Pertama-tama, dokumen ini berawal dari keinginan untuk menawarkan kepada pasangan-pasangan, persiapan perkawinan yang lebih baik dan lebih menyeluruh. Pedoman ini berusaha untuk mencapai tujuan itu melalui pendekatan yang cukup luas yang diilhami oleh katekumenat baptis, yang memungkinkan mereka menerima pembinaan yang memadai untuk kehidupan perkawinan Kristen, mulai dari pengalaman iman dan perjumpaan dengan Yesus. Oleh karena itu, metode ini tidak terbatas pada beberapa pertemuan yang berdekatan dengan perayaan, tetapi lebih disusun untuk membantu pasangan-pasangan memahami sifat “permanen” dari pelayanan pastoral kehidupan perkawinan yang ingin dilaksanakan oleh Gereja.

Tugas pasangan pendamping adalah tugas seluruh komunitas gerejawi, yang memulai perjalanan bersama didampingi oleh para imam, pasangan Kristen, dan petugas pastoral. Pasangan suami-istri sendiri – yang bervariasi dalam usia dan tahun kehidupan pernikahan – adalah agen utama dari pelayanan pastoral ini, karena mereka menawarkan pengalaman mereka untuk membantu mereka yang berpartisipasi dalam perjalanan katekumen. Oleh karena itu, pembinaan berkelanjutan untuk semua diperlukan untuk memenuhi tujuan ini, terutama bagi para imam, sehingga mereka yang membutuhkan bantuan merasakan sikap saling melengkapi dan tanggung jawab yang sangat diperlukan yang dimiliki oleh umat awam dan para imam/religius yang terlibat dalam pelayanan keluarga.

Perjalanan katekumenat perkawinan ini harus dianggap sebagai “sarana pastoral” untuk digunakan dengan kearifan, kebijaksanaan dan itikad baik, sehingga dapat disesaikan secara fleksibel – seperti misalnya tentang cara dan waktu pelaksanaan – sesuai dengan situasi konkret baik pasangan yang ada maupun para tenaga pastoral Gereja lokal.

Pendekatan Katekumenat Perkawinan ini tidak terbatas pada pengajaran doktrinal atau mengatasi bentuk klasik “kursus persiapan perkawinan”. Oleh karena pendekatan ini menggunakan metode katekese dalam hubungannya dengan dialog dengan pasangan, pertemuan pribadi, momen liturgi doa dan perayaan sakramen, ritual, pertemuan kelompok untuk pasangan yang berpartisipasi dalam program, bantuan ahli eksternal, retret, dan pelibatan seluruh komunitas Gereja, yang mendukung proses panjang persiapan perkawinan.

Pada semua fase dan tahapan, pendekatan katekumenal harus selalu mempertahankan sifat kerygmatiknya. Pewartaan awal iman harus kembali pada setiap tahap baru, seolah-olah menandai gelombang berturut-turut, untuk mengingat bahwa Sakramen Perkawinan adalah “kabar baik”, yaitu anugerah Tuhan bagi pasangan yang ingin menghayati cinta kasih secara sepenuhnya. Setiap fase pendekatan katekumenal menyatukan perjalanan pertumbuhan manusia (membentuk kepribadian yang harmonis dan membumi; mengatasi ketidakdewasaan, ketertutupan, dan ketakutan; dinamika relasi masing-masing pasangan dan hidup berpasangan; keterampilan komunikasi, dan lain-lain) dan perjalanan pertumbuhan rohani (penerimaan kasih Allah; pertobatan pribadi; mengatasi keterbatasan moral; kehidupan doa; pemahaman akan pentingnya komunitas dan dimensi gerejawi iman; penerimaan Sakramen, dan lain-lain).

Perjalanan Katekumenat bagi kaum muda dan pasangan ini ingin menyesuaikan diri dengan realitas konkret saat ini dan tidak takut untuk membahas topik dan masalah yang muncul dari tantangan sosial dan budaya: pendidikan dalam cinta sejati yang tidak terbatas pada pengalaman emosional yang rapuh, pengakuan akan kekayaan dan saling melengkapi antara pria dan wanita, pendidikan dalam afektivitas dan seksualitas, nilai pilihan tetap, nilai kemanusiaan, dimensi rohani dan sosial keluarga, masalah bioetika, dan lain-lain. Dengan cara ini, perjalanan katekumenat ini membantu pasangan dalam membentuk kesadaran moral pribadi dan perumusan rencana kehidupan keluarga bersama.

Tahapan pertumbuhan yang diusulkan oleh metode katekumeat ini ditandai oleh upacara – di tempat-tempat di mana realitas budaya mengizinkan dan selama tidak ada interpretasi yang samar-samar dari mereka – untuk memberikan kesadaran bahwa setiap langkah di sepanjang jalan menjadi titik balik untuk menarik pasangan lebih jauh di sepanjang jalan, baik mengenai kedewasaan manusia dan rohani dan mengenai keputusan mereka untuk menikah, sementara selalu tetap fokus pada tujuan kehidupan pernikahan Kristen.

Metode katekumenal dibagi menjadi tiga fase utama: persiapan jauh, yang mencakup pendampingan pada masa kanak-kanak dan remaja; fase penerimaan perantara; dan, fase katekumenal yang sebenarnya, yang pada gilirannya mencakup tiga tahap yang berbeda – tahap pertama dari persiapan dekat, yang berlangsung lebih lama tetapi panjangnya bervariasi; tahap kedua dari persiapan akhir, yang lebih singkat; dan, tahap pendampingan ketiga adalah pendampingan tahun-tahun pertama kehidupan perkawinan, yang diakhiri dengan masuknya pasangan dalam pelayanan keluarga biasa di paroki dan keuskupan/eparki mereka.

Metode ini bertujuan untuk menggabungkan, sejak masa kanak-kanak, penemuan iman kristiani dan inisiasi ke dalam sakramen-sakramen dengan penemuan panggilan perkawinan atau panggilan imamat/religius.

Pada saat yang sama, banyaknya kehadiran pasangan hidup bersama dengan anak-anak yang ingin menikah di Gereja mengharuskan komunitas lokal untuk membuat program yang berfokus pada pengalaman hidup pasangan ini, yang berjalan paralel dengan bentuk pengembangan pelayanan pastoral khusus. Pasangan-pasangan ini tidak diragukan lagi pantas mendapatkan perhatian dan perhatian khusus dalam hubungannya dengan pasangan yang sudah bertunangan yang sudah memiliki pengalaman hidup Kristen.

Pendekatan katekumenal menawarkan pendampingan pastoral yang dipersonalisasi terutama berdasarkan kesaksian tim pendamping dan pasangan menikah lainnya yang terlibat dalam program ini. Pendekatan ini berusaha untuk menuntun setiap pasangan pada disermen pribadi yang serius, sehingga perayaan perkawinan dan kehidupan perkawinan menjadi buah dari keputusan sadar, yang dipilih secara bebas dan penuh sukacita, dan bukan sekadar penerimaan pasif dari tradisi budaya atau formalitas sosial.

Sementara mempersiapkan pasangan untuk Sakramen Perkawinan, pendekatan katekumenal juga berusaha untuk menginisiasi mereka ke dalam kehidupan gerejawi dan membantu mereka mengalami Gereja sebagai tempat di mana mereka dapat memelihara ikatan perkawinan mereka, terutama melalui sakramen, dan di mana mereka dapat melanjutkan agar bertumbuh dalam panggilan pelayanan mereka kepada orang lain sepanjang hidup mereka, dengan demikian mengembangkan sepenuhnya identitas perkawinan dan misi gerejawi mereka.

Selanjutnya, perhatian khusus akan disediakan untuk pendampingan pasangan menikah yang sedang dalam situasi krisis. Bahkan, ada kebutuhan mendesak untuk mempersiapkan layanan pastoral di setiap realitas lokal yang dikhuskan untuk mereka mengalami kehancuran relasi perkawinan atau yang berada dalam kesulitan besar. Pelayanan ini harus dihubungkan secara erat dengan pelayanan pastoral rekonsiliasi dan mediasi untuk menjaga ikatan perkawinan dan sedapat mungkin mencegah perpisahan.

Meskipun usaha untuk memulai proses pembentukan yang bertahan lama seperti itu mungkin tampak mustahil untuk dicapai, namun kami mendesak keuskupan-keuskupan untuk memiliki keberanian dan untuk masuk ke dalam sikap iman yang benar, mengetahui bahwa, seperti yang diajarkan Yesus kepada kita, pekerjaan Kerajaan selalu dimulai sebagai biji sesawi kecil, tetapi seiring waktu mereka dapat tumbuh menjadi pohon besar yang menawarkan perlindungan dan perlindungan bagi mereka yang mencari dan membutuhkan. Dengan menawarkan kepada generasi muda perjalanan katekumenal pertumbuhan menuju pernikahan, Gereja akan memenuhi kebutuhan mendesak untuk menemani kaum muda menuju pemenuhan apa yang masih menjadi salah satu “impian” terbesar mereka dan di antara tujuan utama yang mereka tetapkan untuk dicapai dalam hidup: untuk menjalin hubungan yang kokoh dengan orang yang mereka cintai untuk membangun sebuah keluarga.

Marilah kita mempercayakan misi ini kepada perantaraan Santo Yosef, Mempelai Perawan dan Penjaga Penebus, dan kepada Perawan Maria yang Terberkati, Bunda Yesus dan Bunda Gereja, sehingga mereka dapat memenuhi kita dengan cinta bagi semua keluarga di dunia dan semangat yang tak habis-habisnya untuk bekerja dalam pelayanan mereka


 

[1]     « Saya ingin mengulangi perlunya sebuah “masa katekumenat baru” dalam persiapan perkawinan, sebagai pilihan pastoral bagi seluruh Gereja. Dengan memperhatikan keinginan para Bapa Sinode Biasa yang lalu, sangat mendesaklah melaksanakan secara konkret apa yang diamatkan dalam Familiaris Consortio (no. 66), yaitu bahwa untuk pembaptisan orang dewasa, masa katekumenat adalah bagian dari proses sakramental, demikian juga persiapan perkawinan menjadi bagian integral dari keseluruhan tata cara sakramental perkawinan, sebagai penangkal yang mencegah berlipat gandanya perayaan perkawinan yang batal dan tidak konsisten» (Fransiskus, Pidato dalam rangka Pembukaan Tahun Judisial Tribunal Rota Romana, 21 Januari 2017; bdk. Pidato dalam dalam rangka Pembukaan Tahun Judusial di Tribunal Rota Romana, 29 Januari 2018; Amoris Laetitia, 205-211).

[2]     Penasihat Paus untuk Keluarga, Persiapan Sakramen Perkawinan, 13 Mei 1996.

[3]     « Berbagai komunitas perlu mengembangkan prakarsa-prakarsa yang lebih praktis dan efektif dengan memperhitungkan baik ajaran Gereja maupun kebutuhan dan tantangan lokal» (Amoris Laetitia, 199).

[4]     Fransiskus, Pidato Pembukaan  Tahun Yudisial Tribunal Rota Romana, 21 Januari 2017.

[5]     Ungkapan tersebut muncul dalam berbagai pembelajaran atas tema itu, termasuk F. Courdreau, dalam Verkundigung und Glaube Festgabe untuk F.X. Arnold, Freiburg e.B. Haring, Sociologia della Famiglia, Roma 1962. Sejak tahun 1960-an, beberapa konferensi para uskup juga telah mengusulkannya dalam beberapa dokumen nasional dan regional. Lebih lanjut, Seruan Apostolik Familiaris Consortio, mulai dari analogi dengan sakramen baptis, sudah menandai tahapan-tahapan rencana persiapan perkawinan: persiapan jauh, persiapan dekat dan persiapan langsung.

[6]     « Saya ingin merekomendasikan komitmen katekumenat perkawinan, yang dipahami sebagai rencana perjalanan yang sangat diperlukan bagi kaum muda dan pasangan, ditakdirkan untuk menghidupkan kembali hati nurani Kristen mereka, didukung oleh kasih karunia dari dua sakramen, Pembaptisan dan perkawinan. Seperti yang telah saya tegaskan pada kesempatan lain, katekumenat itu sendiri unik, sebagai pembaptisan, yaitu, berakar pada Baptisan, dan pada saat yang sama dalam hidup itu membutuhkan karakter permanen, rahmat Sakramen Perkawinan yang bersifat tetap» (Fransiskus, Pidato Pembukaan Tahun Yudisial Mahkamah Rota Romawi, 29 Januari 2018).

[7]     Basilio Di Cesarea, De baptismo I,1.

[8]     « Perlu […] membuat rencana perjalanan persiapan sakramen perkawinan semakin efektif, untuk pertumbuhan tidak hanya manusia, tetapi terutama iman dari pasangan yang bertunangan. Tujuan mendasar dari pertemuan adalah untuk membantu pasangan yang bertunangan untuk secara progresif berintegrasi ke dalam misteri Kristus, di dalam Gereja dan bersama Gereja. Ini melibatkan pematangan progresif dalam iman, melalui pewartaan Sabda Allah, adhesi dan kemurahan hati mengikuti Kristus» (Fransiskus, Pidato Pembukaan Tahun Yudisial, Tribunal Rota Romawi, 21 Januari 2017).

[9]     « Tuhan yang memanggil pasangan untuk “menikah terus memanggil mereka” dalam “perkawinan” » (Familiaris Consortio, 51).

[10]    « Ini bukan soal memberi mereka seluruh Katekismus, atau menjenuhkan mereka dengan terlalu banyak argumen. Bahkan dalam hal ini, pada kenyataannya, tidak banyak pengetahuan yang memuaskan dan memuaskan jiwa, tetapi perasaan dan rasa hal-hal di dalam. Kualitas lebih penting daripada kuantitas, dan prioritas harus diberikan – bersama-sama untuk pengumuman kerygma yang diperbarui – untuk konten yang, ditransmisikan di cara yang menarik dan ramah, bantu mereka untuk terlibat dalam keseluruhan jalan hidup dengan semangat besar dan kemurahan hati » (Amoris Laetitia, 207)

[11]    « Komunitas Kristen sendiri terpanggil untuk terlibat dalam persiapan pasangan untuk menikah, yang merupakan misi gerejawi. Itu pasangan, pada kenyataannya, dapat membantu memperbarui jalinan keseluruhan badan gerejawi » (Amoris Laetitia, 207).

[12]    « […] pasangan yang bertunangan tidak melihat perkawinan sebagai akhir dari perjalanan, tetapi mereka menganggap perkawinan sebagai panggilan yang meluncurkan mereka ke maju, dengan keputusan yang tegas dan realistis untuk melalui semuanya bersama-sama cobaan dan saat-saat sulit » (Amoris Laetitia, 211).

[13]    « Berdasarkan sakramen, [pasangan] diinvestasikan dengan yang sejati dan misi mereka sendiri, sehingga mereka dapat membuat terlihat, mulai dari hal-hal sederhana, biasa, cinta yang dengannya Kristus mencintai Gereja-Nya, terus berlanjut memberikan nyawanya untuknya » (Amoris Laetitia, 121)

[14]    « Tiga atau empat tidak dapat didefinisikan sebagai “persiapan untuk menikah” konferensi yang diberikan di paroki. Persiapannya harus matang dan ada membutuhkan waktu. Ini bukan tindakan formal: itu adalah sakramen. Tetapi harus dipersiapkan dengan katekumenat yang benar » (Fransiskus, Katekese tentang Perintah-Perintah, 11/A: Jangan berzinah, 24 Oktober 2018).

[15]    Lih. Amoris Laetitia, 203; Katekismus Gereja Katolik, 1632.

[16]    Lih. Kisah Para Rasul 18:1-3; 18, 18-19; 18.26; Rm 16,3-5; 1 Kor 16:19.

[17]    « Kepada Anda para imam paroki, rekan kerja para uskup yang sangat diperlukan, katekumenat ini terutama dipercayakan. Saya mendorong Anda untuk menerapkannya meskipun kesulitan yang mungkin Anda hadapi » (Francis, Amanat kepada para peserta di Kursus Persiapan Perkawinan, 25 Februari 2017).

[18]    « Para imam, khususnya pastor paroki, adalah lawan bicara pertama kaum muda yang ingin membentuk keluarga baru dan menikah dalam sakramen perkawinan. Pendampingan pendeta yang ditahbiskan akan membantu pasangan masa depan untuk memahami bahwa perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita adalah tanda persatuan pasangan antara Kristus dan Gereja, membuat mereka sadar akan makna mendalam dari langkah yang akan mereka ambil » (Fransiskus, Pidato kepada para Peserta Kursus Pelatihan Keuskupan tentang Perkawinan dan Keluarga yang Diselenggarakan oleh Tribunal Rota Roma, 27 September 2018).

[19]    « Hari ini lebih dari sebelumnya, persiapan ini terlihat seperti nyata dan kesempatan yang tepat untuk evangelisasi orang dewasa dan, sering, dari mereka yang disebut jauh. Faktanya, banyak anak muda yang mendekati perkawinan adalah kesempatan untuk bertemu kembali dengan iman lama terdegradasi ke pinggiran kehidupan mereka; mereka, di sisi lain, menemukan diri mereka sendiri pada saat tertentu, sering juga ditandai dengan ketersediaan untuk meninjau dan mengubah orientasi keberadaan. Oleh karena itu dapat menjadi waktu yang baik untuk memperbaharui perjumpaan dengan orang Yesus Kristus, dengan pesan Injil dan dengan ajaran Gereja » (Fransiskus, Pidato Pembukaan Tahun Yudisial Tribunal Rota Romawi, 21 Januari 2017).

[20]    « Pasangan Kristen yang kudus […] adalah karya Roh Kudus, yang dia adalah protagonis dari misi, selalu, dan mereka sudah ada di kita komunitas teritorial. […] Mari kita memikirkan karya pastoral di katekumenat pranikah dan pascanikah: pasangan inilah yang harus melakukannya dan bergerak maju » (Fransiskus, Pidato kepada Tribunal Rota Romawi untuk Peresmian Tahun Hukum, 25 Januari 2020).

[21]    « Pengurusan pastoral dari sudut pandang misionaris menuntut agar kita meninggalkan kriteria pastoral yang nyaman dari “selalu dilakukan seperti ini”. Saya mengundang semua orang untuk berani dan kreatif dalam tugas memikirkan kembali tujuan, struktur, gaya dan metode penginjilan komunitas mereka. Identifikasi tujuan tanpa pencarian komunitas yang memadai tentang sarana untuk mencapainya dikutuk untuk diterjemahkan ke dalam fantasi belaka » (Evangelii Gaudium, 33).

[22]    Komisi Teologi Internasional, Sinodalitas dalam Kehidupan dan Misi Gereja, 2 Maret 2018, 6.

[23]    Amoris Laetitia, 206.

[24]    « Keluarga dan kaum muda tidak bisa menjadi dua sektor paralel pelayanan pastoral komunitas kita, tetapi mereka harus berjalan bersama-sama, karena sangat sering orang muda adalah apa yang telah diberikan keluarga kepada mereka dalam masa pertumbuhan. Perspektif ini menyatukan dalam kesatuan pelayanan pastoral panggilan yang penuh perhatian untuk mengekspresikan wajah Yesus dalam banyak aspeknya yang terlipat » (Fransiskus, Pidato dalam pertemuan dengan umat beriman selama kunjungan ke Loreto, 25 Maret 2019).

[25]    Fransiskus, Sambutan kepada para Peserta Kursus Persiapan Perkawinan, 25 Februari 2017.

[26]    Lih. Amoris Laetitia, 204.

[27]    « Persiapan jarak jauh dimulai pada masa kanak-kanak, dalam hal itu pedagogi keluarga yang bijaksana, yang bertujuan mengarahkan anak-anak untuk menemukan diri mereka sebagai makhluk dengan psikologi yang kaya dan kompleks dan kepribadian tertentu dengan kekuatan dan kelemahan mereka sendiri. Ini adalah periode di mana penghargaan untuk setiap nilai manusiawi yang autentik harus ditanamkan, baik dalam hubungan antarpribadi maupun dalam hubungan sosial, dengan apa artinya ini bagi pembentukan karakter, untuk dominasi dan penggunaan yang benar dari kecenderungan seseorang, untuk jalan menuju mempertimbangkan dan bertemu orang-orang dari lawan jenis […]. Selain itu, diperlukan pembinaan rohani dan katekese yang kokoh, khususnya bagi umat Kristiani, yang mampu menunjukkan panggilan dan misi sejati dalam perkawinan […]. Atas dasar ini, persiapan terdekat nantinya akan berlangsung dalam arti luas » (Familiaris Consortio, 66); lihat juga Dewan Kepausan untuk Keluarga, Persiapan Sakramen Perkawinan, n. 22.

[28]    Bantuan besar dalam tugas ini adalah bantuan pastoral yang dikembangkan dari Dewan Kepausan untuk Keluarga, Seksualitas Manusia: Kebenaran dan Makna. Pedoman Pendidikan dalam Keluarga, 8 Desember 1995.

[29]    « Pilihan perkawinan sipil atau, dalam beberapa kasus, yang sederhana koeksistensi, seringkali tidak dimotivasi oleh prasangka atau penolakan terhadap persatuan sakramental, tetapi oleh situasi budaya atau kontingen. […] Koeksistensi sederhana sering dipilih karena mentalitas umum bertentangan dengan institusi dan komitmen definitif, tetapi juga untuk harapan keamanan eksistensial (pekerjaan dan gaji tetap). Akhirnya, di negara-negara lain, serikat pekerja secara de fakto sangat banyak, bukan hanya karena penolakan terhadap nilai-nilai keluarga dan perkawinan, tetapi di atas semua itu karena fakta bahwa menikah dianggap sebagai kemewahan, untuk kondisi sosial, jadi bahwa kesengsaraan materi mendorong kita untuk hidup secara de fakto serikat » (Amoris Laetitia, 294).

[30]    Fransiskus, Amoris Laetitia, 280, cit. Gravissimum Educationis, 1.

[31]    « Perkawinan membutuhkan persiapan, dan itu perlu mendidik diri sendiri, mengembangkan keutamaan-keutamaan yang paling baik, khususnya cinta, kesabaran, kemampuan untuk berdialog dan melayani. Hal ini juga termasuk mendidik seksualitas diri, sehingga seksualitas semakin tidak menjadi alat untuk memanfaatkan orang lain, namun semakin menjadi kemampuan untuk memberikan diri secara penuh kepada seseorang secara eksklusif dan murah hati » (Fransiskus, Christus Vivit, 265).

[32]    Yohanes Paulus II, Surat kepada KeluargaGratissimam Sane, 16.

[33]    « Hanya sejauh itu didasarkan pada kebenaran, cinta dapat bertahan dalam waktu, mengatasi momen fana dan tetap teguh untuk mendukung jalan bersama. Jika cinta tidak memiliki hubungan dengan kebenaran, itu tunduk pada perubahan perasaan dan tidak tahan uji waktu. Cinta sejati, di sisi lain, menyatukan semua elemen pribadi kita dan menjadi cahaya baru menuju kehidupan yang besar dan penuh. Tanpa kebenaran, cinta tidak dapat menawarkan ikatan yang kokoh, ia tidak dapat membawa “aku” keluar dari keterasingannya, atau membebaskannya dari momen singkat untuk membangun kehidupan dan menghasilkan buah » (Fransiskus, Lumen Fidei, 27).

[34]    Lih. Fransiskus, Christus Vivit, 242.

[35]    Lih. Fransiskus, Christus Vivit, 206.

[36]    « Perlu diingat pentingnya keutamaan-keutamaan, di antaranya, kemurnian merupakan syarat berharga bagi pertumbuhan sejati cinta kasih mereka. Dalam hal ini, para para Bapa Sinode sepakat menekankan pentingnya melibatkan seluruh komunitas secara lebih luas » (Amoris Laetitia, 206)

[37]    Bdk. Luk. 4, 40: “Dan dia, meletakkan tangannya di atas mereka dan menyembuhkan mereka”.

[38]    « Dengan bantuan keluarga-keluarga misionaris, keluarga pasangan tunangan itu sendiri dan berbagai sumber daya pastoral, berbagai cara harus ditemukan untuk menawarkan persiapan jarak jauh yang dapat mendewasakan kasih timbal balik mereka, dengan pendampingan yang kaya akan kedekatan dan kesaksian. Kelompok-kelompok orang yang bertunangan dan usul-usul seminar pilihan dengan berbagai tema yang benar-benar diminati orang-orang muda kerap sangat bermanfaat. Namun, sejumlah saat-saat pribadi sangat diperlukan, karena tujuan utama adalah untuk membantu masing-masing belajar mencintai orang yang nyata ini, dengan siapa ia ingin berbagi seluruh hidupnya. Belajar untuk mencintai seseorang tidak terjadi secara otomatis, juga tidak bisa menjadi tujuan kursus singkat sebelum upacara perkawinan. Sesungguhnya, setiap orang sudah mempersiapkan perkawinan sejak lahir. […] semua tindakan pastoral yang ditujukan untuk membantu pasangan suami-istri bertumbuh dalam kasih dan menghayati Injil dalam keluarga juga merupakan bantuan yang sangat berguna karena anak-anak mereka harus mempersiapkan diri mereka bagi kehidupan perkawinan mereka di kemudian hari. » (Amoris Laetitia, 208).

[39]    « Kasih setia Kristus adalah terang untuk mengalami keindahan afeksi manusia. Padahal, dimensi afektif kita adalah panggilan untuk mencintai, yang memanifestasikan dirinya dalam kesetiaan, penerimaan, dan belas kasihan » (Fransiskus, Katekese tentang Perintah-Perintah, 11/BPanggilan suami-istri menemukan kepenuhannya dalam Kristus, 31 Oktober 2018).

[40]    « Iman mengubah seluruh pribadi, tepatnya sejauh ia membuka dirinya untuk cinta. Dalam jalinan iman dengan cinta inilah kita memahami bentuk pengetahuan yang sesuai dengan iman, kekuatan keyakinannya, kemampuannya untuk menerangi langkah kita. Iman mengetahui sejauh ia terkait dengan cinta, karena cinta itu sendiri membawa cahaya. Pengertian iman adalah apa yang lahir ketika kita menerima kasih Tuhan yang mulia yang mengubah kita secara batiniah dan memberi kita mata baru untuk melihat kenyataan » (Fransiskus, Lumen Fidei, 26).

[41]    « Kolaborator dan pengelola […] sebagai pendidik juga harus dibekali dengan kapasitas untuk menyambut pasangan yang bertunangan, apapun latar belakang sosial budaya mereka, pembentukan intelektual mereka dan kemampuan konkret mereka » (Dewan Kepausan untuk Keluarga, Persiapan untuk Sakramen Perkawinan, 43).

[42]    « Dari bibir katekis, pengumuman pertama selalu bergema: “Yesus Kristus mencintaimu, Dia memberikan hidupnya untuk menyelamatkanmu, dan sekarang Dia hidup di sisimu setiap hari, untuk mencerahkanmu, untuk menguatkanmu, untuk membebaskanmu”. […] Semua formasi Kristen pertama-tama adalah pendalaman keryg-ma yang semakin lama semakin baik, yang tidak pernah berhenti menerangi komitmen katekese, dan yang memungkinkan kita untuk cukup memahami makna dari setiap tema yang berkembang dalam katekese. Itu adalah pengumuman yang menjawab kerinduan akan yang tak terbatas yang ada di setiap hati manusia » (Paus Fransiskus, Evangelii Gaudium, 164-165).

[43]    Lih. Amoris Laetitia, 201.

[44]    Lih. Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, 68; Fransiskus, Amoris Laetitia, 1, 59, 200-201.

[45]    « Kesaksian yang paling meyakinkan dari berkat perkawinan Kristen adalah kehidupan yang baik dari pasangan Kristen dan keluarga. Tidak ada cara yang lebih baik untuk mengungkapkan keindahan sakramen! » (Fransiskus, Audiensi Umum. Keluarga – 12. Perkawinan (I), 29 April 2015).

[46]    Dalam usaha untuk memahami ini berguna untuk memperhitungkan kesulitan subjektif dan objektif orang, “kesulitan pemahaman” dan “kesulitan hidup” apa yang Gereja usulkan, dalam terang kriteria yang ditunjukkan dalam Amoris Laetitia, 301- 303.

[47]    « Pada saat yang sama, dekatkan diri Anda, dengan gaya yang sesuai dengan Injil, dalam bertemu dan menyambut orang-orang muda yang lebih suka hidup bersama tanpa menikah. Pada tingkat spiritual dan moral, mereka termasuk di antara orang-orang miskin dan kecil, yang kepadanya Gereja, dalam jejak Guru dan Tuhannya, ingin menjadi seorang ibu yang tidak meninggalkan tetapi yang mendekati dan peduli. Orang-orang ini juga dikasihi oleh hati Kristus. Lihatlah kelembutan dan kasih sayang mereka » (Fransiskus, Sambutan kepada para Peserta Kursus Persiapan Perkawinan, 25 Februari 2017).

[48]    Pada aspek mendasar ini, yang tidak dapat diabaikan untuk pembaruan yang memadai dari perawatan pastoral untuk persiapan perkawinan, sangat berguna untuk merujuk pada dokumen Timbal balik antara Iman dan Sakramen dalam Ekonomi Sakramental Komisi Teologi Internasional, yang telah menerima pendapat yang baik dari Bapa Suci pada 19 Desember 2019.

[49]    « Semua situasi ini harus dihadapi dengan cara yang konstruktif, mencoba mengubahnya menjadi kesempatan untuk berjalan menuju kepenuhan perkawinan dan keluarga dalam terang Injil. Ini adalah pertanyaan untuk menyambut mereka dan menemani mereka dengan kesabaran dan kelembutan. Inilah yang Yesus lakukan dengan wanita Samaria (lih. Yoh 4: 1-26): Dia mengucapkan sepatah kata kepada keinginannya akan cinta sejati, untuk membebaskannya dari segala sesuatu yang mengaburkan hidupnya dan membimbingnya menuju sukacita penuh Injil » (Amoris Laetitia, 294).

[50]    Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, 68.

[51]    Lih. Yohanes Paulus II, Pidato Pembukaan Tahun Yudisial di Tribunal Rota Romawi, 30 Januari 2003; Benediktus XVI, Pidato Pembukaan Tahun Yudisial di Tribunal Rota Romawi, 26 Januari 2013; Fransiskus, Pidato Pembukaan Tahun Yudisial  di Tribunal  Rota Romawi, 23 Januari 2015.

[52]    « Adalah baik untuk dengan jelas menegaskan kembali bahwa kualitas iman bukanlah syarat esensial dari persetujuan perkawinan, yang, menurut doktrin sepanjang masa, hanya dapat dirusak pada tingkat alami (lih. Kitab Hukum Kanonik, kan. 1055 § 1 dan 2). Faktanya, habitus fidei ditanamkan pada saat Pembaptisan dan terus memiliki pengaruh misterius pada jiwa, bahkan ketika iman belum dikembangkan dan secara psikologis tampaknya tidak ada. Tidak jarang pasangan, yang didorong ke perkawinan sejati oleh naluri alamiah, pada saat perayaan, memiliki kesadaran terbatas akan kepenuhan rencana Tuhan, dan hanya kemudian, dalam kehidupan keluarga, mereka menemukan semua yang Tuhan Pencipta dan Penebus, didirikan untuk mereka. Kurangnya pembinaan dalam iman dan juga kesalahan mengenai kesatuan, ketakterceraian, dan martabat sakramental perkawinan merusak persetujuan perkawinan hanya jika mereka menentukan kehendak (bdk. Kitab Hukum Kanonik, kan. 1099). Justru untuk itulah kesalahan-kesalahan mengenai sakramentalitas perkawinan harus dievaluasi dengan sangat hati-hati » (Fransiskus, Pidato Pembukaan Tahun di  Yudisial Tribunal Rota Roma, 22 Januari 2016).

[53]    « Doktrin tradisional tentang sakramen memiliki keyakinan bahwa, untuk menganugerahkan sakramen, setidaknya diperlukan niat untuk melakukan apa yang Gereja lakukan. Semua sakramen ini terdiri dari tiga unsur: hal-hal yang menjadi materi, kata-kata yang merupakan bentuk dan pribadi pelayan yang menganugerahkan sakramen, dengan maksud melakukan apa yang Gereja lakukan (cum intensione faciendi, quod facit Ecclesia). Jika salah satu dari unsur-unsur ini hilang, seseorang tidak memiliki sakramen. Menurut pendapat umum teologi Latin, pelayan sakramen perkawinan adalah pasangan, yang saling menganugerahkan perkawinan. Dalam hal perkawinan sakramental, paling tidak diperlukan niat untuk menciptakan perkawinan yang wajar. Sekarang, perkawinan kodrat, sebagaimana dipahami oleh Gereja, mencakup ketakterceraian, kesetiaan, dan bahwa itu diperintahkan demi kebaikan suami-istri dan keturunan sebagai sifat-sifat esensial. Oleh karena itu, jika niat untuk menikah kontrak tidak termasuk sifat-sifat ini, setidaknya secara implisit, ada cacat serius dalam niat, yang dapat mempertanyakan keberadaan perkawinan alami, dasar yang diperlukan untuk perkawinan sakramental » (Komisi Teologi Internasional, Hubungan timbal balik antara Iman dan Sakramen dalam Ekonomi Sakramental, 168).

[54]    « Sakramentalitas tidak pernah merupakan hasil dari otomatisme, tetapi selalu dari hati nurani yang diterangi oleh iman, sebagai hasil dari kombinasi manusia dan ilahi. Dalam pengertian ini, persatuan suami-istri dapat dikatakan benar hanya jika niat manusia dari pasangan-pasangan itu berorientasi pada apa yang diinginkan Kristus dan Gereja » (Fransiskus, Pidato Pembukaan Tahun di Yudisial Tribunal Rota Romawi, 29 Januari 2018); « Ketika […] terlepas dari setiap upaya yang dilakukan, yang bertunangan menunjukkan penolakan eksplisit dan formal dari apa yang Gereja ingin lakukan ketika merayakan perkawinan yang dibaptis, pendeta jiwa tidak dapat menerima mereka ke perayaan itu. Sekalipun dengan enggan, ia berkewajiban untuk memperhatikan keadaan dan membuat pihak-pihak yang berkepentingan mengerti bahwa, dalam hal ini, bukanlah Gereja tetapi mereka sendiri yang mencegah perayaan itu yang juga mereka minta » (Familiaris Consortio, 68).

[55]    « Iman, pada kenyataannya, dari mereka yang meminta Gereja untuk menikah dapat ada dalam derajat yang berbeda dan adalah tugas utama para pendeta untuk menemukannya kembali, untuk memeliharanya dan membuatnya matang. Tetapi mereka juga harus memahami alasan-alasan yang menasihati Gereja untuk menerima bahkan mereka yang cenderung tidak sempurna ke perayaan » (Familiaris Consortio, 68).

[56]    « Pasangan Kristen tidak naif, mereka tahu masalah dan bahaya hidup. Tetapi mereka tidak takut untuk mengambil tanggung jawab mereka di hadapan Tuhan dan masyarakat. […] Tentu saja, itu sulit. Untuk ini kita membutuhkan rahmat, rahmat yang diberikan sakramen kepada kita! Sakramen-sakramen tidak digunakan untuk menghiasi kehidupan […] kasih karunia bukan untuk menghiasi hidup, itu untuk membuat kita kuat dalam hidup, untuk membuat kita berani, untuk dapat bergerak maju! […] Orang Kristen menikah dalam Sakramen karena mereka sadar bahwa mereka membutuhkannya! Mereka membutuhkannya untuk bersatu satu sama lain dan untuk memenuhi misi orang tua. “Dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit” » (Fransiskus, Pidato kepada Keluarga-keluarga yang Berziarah ke Roma pada Tahun Iman, 26 Oktober 2013).

[57]    « Dalam proses persiapan perkawinan, penting untuk melanjutkan katekese inisiasi Kristen ke dalam iman, yang isinya tidak boleh diterima begitu saja atau seolah-olah sudah diperoleh oleh pasangan yang bertunangan. Namun, lebih sering daripada tidak, pesan kristiani semuanya harus ditemukan kembali bagi mereka yang telah berpegang teguh pada beberapa gagasan dasar katekismus Komuni pertama dan, jika semuanya berjalan dengan baik, tentang Penguatan » (Fransiskus, Sambutan kepada para Peserta Keuskupan Kursus Persiapan Perkawinan dan Keluarga yang diselenggarakan oleh Tribunal Rota Romawi, 27 September 2018).

[58]    « Tindakan persiapan perkawinan harus ditetapkan […] dengan berfokus pada hal yang esensial di sini juga: Alkitab, untuk ditemukan kembali bersama-sama, secara sadar; doa, dalam dimensi liturginya, tetapi juga dalam “doa rumah tangga”, untuk dihayati dalam keluarga, sakramen, kehidupan sakramental, Pengakuan, […] di mana Tuhan datang untuk berdiam dalam pasangan yang bertunangan dan mempersiapkan mereka untuk untuk benar-benar menyambut satu sama lain “dengan kasih karunia Kristus” » (Fransiskus, Audiensi Umum. Keluarga – 16. Pertunangan, 27 Mei 2015).

[59]    « Keputusan untuk “menikah dalam Tuhan” juga mengandung dimensi misionaris, yang berarti memiliki dalam hati kesediaan untuk menjadikan diri sendiri melalui berkat Tuhan dan kasih karunia Tuhan untuk semua. Bahkan, pasangan Kristen berpartisipasi sebagai pasangan dalam misi Gereja. […] Gereja, untuk mempersembahkan semua karunia iman, cinta dan harapan, juga membutuhkan kesetiaan yang berani dari pasangan terhadap rahmat sakramen mereka! Umat ​​Allah membutuhkan perjalanan sehari-hari mereka dalam iman, cinta dan harapan, dengan segala suka dan duka yang menyertai perjalanan ini dalam perkawinan dan keluarga » (Fransiskus, Audiensi Umum. Keluarga – 13. Perkawinan (II), 6 Mei 2015); lihat juga Familiaris Consortio, 50; Amoris Laetitia, 121.

[60]    « Kebutuhan juga digarisbawahi akan program-program khusus untuk persiapan menjelang perkawinan yang merupakan pengalaman sejati partisipasi dalam kehidupan gerejawi dan yang memperdalam berbagai aspek kehidupan keluarga » (Amoris Laetitia, 206).

[61]    Amoris Laetitia, 296-297.

[62]    « Ada beberapa cara yang sah untuk mengatur persiapan perkawinan, dan setiap Gereja lokal akan membedakan mana yang terbaik, menyediakan formasi yang memadai, yang pada saat yang sama tidak mengasingkan kaum muda dari sakramen. […] Ini adalah semacam “inisiasi” ke dalam sakramen perkawinan yang memberi mereka unsur-unsur yang diperlukan untuk dapat menerimanya dengan watak terbaik dan memulai kehidupan keluarga dengan soliditas tertentu » (Amoris Laetitia, 207) .

[63]    « Pertunangan […] adalah waktu di mana keduanya dipanggil untuk melakukan pekerjaan yang baik tentang cinta, pekerjaan partisipatif dan bersama yang berjalan secara mendalam. Kami secara bertahap menemukan satu sama lain, yaitu, pria “mempelajari” wanita dengan mempelajari wanita, pacarnya ini; dan wanita itu “mempelajari” pria itu dengan mempelajari pria, pacarnya ini. Janganlah kita meremehkan pentingnya pembelajaran ini: itu adalah komitmen yang indah, dan cinta itu sendiri membutuhkannya » (Fransiskus, Audiensi Umum. Keluarga – 16. Pertunangan, 27 Mei 2015).

[64]    Lih. Amoris Laetitia, 133-141.

[65]    « Persiapan dekat, yang – dari usia yang tepat dan dengan katekese yang memadai, seperti dalam perjalanan katekumenal – melibatkan persiapan yang lebih khusus untuk sakramen, hampir merupakan penemuan kembali sakramen-sakramen itu. Katekese yang diperbarui dari mereka yang sedang mempersiapkan perkawinan Kristen ini mutlak diperlukan agar sakramen dirayakan dan dihayati dengan watak moral dan spiritual yang sepatutnya. Pembinaan keagamaan kaum muda harus terpadu, pada waktu yang tepat dan sesuai dengan berbagai kebutuhan konkret, dengan persiapan hidup untuk dua orang yang, menghadirkan perkawinan sebagai hubungan interpersonal pria dan wanita untuk terus dikembangkan, merangsang mereka untuk memperdalam masalah seksualitas suami-istri dan kebapaan yang bertanggung jawab, dengan pengetahuan medis-biologis esensial yang terkait dengannya, dan memulai keakraban dengan metode membesarkan anak yang benar, mendukung perolehan elemen dasar untuk manajemen keluarga yang teratur » (Familiaris Consortio, 66); lihat juga Dewan Kepausan untuk Keluarga, Persiapan Sakramen Perkawinan, 35.

[66]    Lih. Dewan Kepausan untuk Keluarga, Persiapan Sakramen Perkawinan, 36.

[67]    « Persiapan bagi banyak orang yang telah meresmikan pertunangan, ketika komunitas paroki berhasil mendampingi mereka dengan tepat waktu, juga harus memberi mereka kemungkinan untuk mengenali ketidakcocokan serta risiko. Dengan cara ini, mereka dapat menyadari bahwa tidaklah masuk akal mengandalkan hubungan ini, tanpa membuka diri akan kemungkinan kegagalan yang akan membawa konsekuensi yang sangat menyakitkan. Masalahnya adalah bahwa ketertarikan awal mereka satu sama lain membuat mereka berusaha menyembunyikan atau membuat relatif banyak hal dan menghindari perbedaan pendapat; sehingga kesulitan-kesulitan baru muncul di kemudian hari. Dengan alasan itu maka mereka harus didorong dan dibantu untuk dapat mengungkapkan apa yang mereka harapkan dari perkawinan, apa yang mereka pahami tentang cinta dan komitmen, apa yang mereka inginkan satu sama lain dan kehidupan bersama macam apa yang mereka ingin bangun. Diskusi-diskusi seperti itu akan membantu mereka melihat apakah mereka sebenarnya hanya memiliki sedikit kesamaan dan menyadari bahwa saling ketertarikan saja tidaklah cukup untuk menopang kesatuan. Tidak ada yang lebih mudah menguap, tidak pasti dan tak terduga daripada hasrat. Keputusan untuk menikah tidak boleh didorong, kecuali jika pasangan itu telah mempertimbangkan alasan-alasan lebih dalam yang akan memastikan komitmen yang sejati dan stabil » (Amoris Laetitia, 209).

[68]    « Ius connubii (hak untuk menikah) bukan merupakan « sebuah klaim » subjektif yang harus dipenuhi oleh para pendeta melalui pengakuan formal belaka, terlepas dari isi sebenarnya dari persatuan itu. Hak untuk kawin kontrak mengandaikan bahwa adalah mungkin dan dimaksudkan untuk benar-benar merayakannya, oleh karena itu, dalam kebenaran esensinya serta itu diajarkan oleh Gereja. Tidak ada yang bisa mengklaim hak atas sebuah upacara pengantin. Ius connubii, pada kenyataannya, mengacu pada hak untuk merayakan perkawinan yang autentik. Oleh karena itu, ius connubii tidak akan ditolak di mana pun keberadaannya jelas bahwa kondisi untuk pelaksanaannya tidak ada, jika tidak ada, yaitu, jelas kemampuan yang dibutuhkan untuk menikah, atau wasiat menetapkan tujuan yang bertolak belakang dengan realitas kodrat perkawinan » (Benediktus XVI, Pidato Pembukaan Tahun Yudisial di Tribunal Rota Romawi, 22 Januari 2011).

[69]    « Temani dengan belas kasih dan kesabaran tahap-tahap yang mungkin dari pertumbuhan orang-orang yang membangun diri mereka hari demi hari [meninggalkan ruang] untuk belas kasihan Tuhan yang mendorong kita untuk melakukan kebaikan yang mungkin » (Amoris Laetitia, 308); lihat juga Amoris Laetitia, 295.

[70]    Amoris Laetitia, 300.

[71]    « Dengan cara apa pun Gereja harus terus mengajukan ideal perkawinan sepenuhnya, rencana Allah dalam segala keagungannya: “Orang muda yang telah dibaptis hendaknya didorong untuk memahami bahwa Sakramen Perkawinan dapat memperkaya masa depan cinta mereka dan bahwa mereka dapat ditopang oleh rahmat Kristus di dalam sakramen itu dan oleh kemungkinan untuk mengambil bagian secara penuh di dalam hidup Gereja.” Suatu sikap suam-suam kuku, segala bentuk relativisme, atau sikap berlebihan pada saat mengusulkan ini, akan menjadi kurangnya kesetiaan terhadap Injil dan juga kurangnya kasih Gereja bagi orang-orang muda itu sendiri. Memahami situasi-situasi istimewa tidak pernah berarti meredupkan terang dari cita-cita yang lebih penuh, atau mengusulkan kurang dari apa yang ditawarkan Yesus kepada umat manusia. Saat ini, yang lebih penting daripada pelayanan pastoral akan kegagalan adalah upaya pastoral untuk memperkuat perkawinan dan dengan demikian mencegah kehancurannya » (Amoris Laetitia, 307).

[72]    « Penting untuk mengingat pentingnya kebajikan. Di antaranya adalah kesucian adalah kondisi yang berharga untuk pertumbuhan cinta yang sejati interpersonal » (Amoris Laetitia, 206); « Kesucian adalah kebebasan dari kepemilikan di semua bidang kehidupan. Hanya ketika cinta itu suci, apakah itu benar-benar cinta. Cinta yang ingin ia miliki, pada akhirnya selalu menjadi berbahaya, memenjarakan, mencekik, membuat tidak bahagia. Tuhan sendiri mencintai manusia dengan cinta suci, membiarkannya bebas bahkan untuk membuat kesalahan dan berbalik melawannya logika cinta selalu merupakan logika kebebasan » (Patris corde, 7).

[73]    « Pada periode ini, pendidikan yang setia dan berani dalam kesucian, dalam cinta sebagai hadiah dari diri sendiri, tidak bisa kurang. Kesucian bukanlah mortifikasi cinta, tetapi kondisi cinta sejati. Bahkan, jika panggilan untuk cinta suami-istri adalah panggilan untuk hadiah diri sendiri dalam perkawinan, perlu untuk memiliki diri sendiri untuk benar-benar memberikan diri ». (Dewan Kepausan untuk Keluarga, Persiapan Sakramen Perkawinan, 24).

[74]    « Kemurnian harus menghiasi manusia dalam aneka ragam status kehidupan: satu dalam keperawanan atau selibat yang disucikan, suatu cara yang luar biasa untuk mendedikasikan diri lebih mudah hanya bagi Tuhan, dengan hati yang tak terbagi; yang lain, sesuai dengan cara yang ditentukan untuk semua oleh hukum moral dan menurut apa yang sudah menikah atau lajang. Orang yang sudah menikah dipanggil untuk hidup dalam kesucian sebagai suami-istri; yang lain mempraktikkan kesucian dalam kesucian. […] Pasangan yang bertunangan mereka dipanggil untuk hidup dalam kemurnian. Ujilah begitu, mereka akan menemukan rasa saling menghormati, mereka akan berlatih dalam kesetiaan dan harapan untuk menerima satu sama lain dari Tuhan. Mereka akan mencadangkan untuk waktu perkawinan manifestasi kelembutan khas cinta suami-istri. Mereka akan saling membantu saling bertumbuh dalam kemurnian » (Katekismus Gereja Katolik, 2349-2350).

[75]    « Ya, banyak pasangan tinggal bersama untuk waktu yang lama, bahkan mungkin dalam keintiman, terkadang hidup bersama, tetapi mereka tidak benar-benar mengenal satu sama lain. Kelihatannya aneh, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa memang demikian. Untuk alasan ini, keterlibatan harus dievaluasi kembali sebagai waktu untuk saling berbagi pengetahuan dan berbagi proyek » (Fransiskus, Audiens Umum. Keluarga – 16. Keterlibatan, 27 Mei 2015).

[76]    Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2348-2350.

[77]    Lih. Berkat. Upacara Romawi, 614, 625.

[78]    « Janji perkawinan, […] yang disebut pertunangan, diatur oleh hukum khusus Konferensi Waligereja, sesuai dengan kebiasaan dan hukum perdata yang berlaku » (Kitab Hukum Kanonik, kan. 1062).

[79]    Lih. Berkat. Upacara Romawi, 610.

[80]    « Dalam kasus keluarga, kerapuhan ikatan menjadi sangat serius karena itu adalah sel dasar masyarakat, dari tempat di mana seseorang belajar untuk hidup dalam perbedaan dan menjadi milik orang lain dan di mana orang tua mengirimkan iman kepada anak-anak mereka. Perkawinan cenderung dipandang sebagai bentuk kepuasan afektif belaka yang dapat diwujudkan dalam cara apapun dan berubah sesuai dengan kepekaan masing-masing. Tetapi kontribusi yang tak tergantikan dari perkawinan kepada masyarakat melampaui tingkat emosional dan kebutuhan tak terduga dari pasangan. Seperti yang diajarkan oleh para Uskup Perancis, tidak muncul dari perasaan cinta, fana menurut definisi, tapi  dari kedalaman komitmen yang dipikul oleh pasangan yang setuju untuk masuk dalam persekutuan hidup total » (Evangelii gaudium, 66).

[81]    Lih. Dewan Kepausan untuk Keluarga, Persiapan Sakramen Perkawinan, 45-46.

[82]    « Persiapan segera untuk merayakan sakramen perkawinan harus dilakukan pada bulan-bulan dan minggu-minggu terakhir sebelum perkawinan » (Familiaris Consortio, 66).

[83]    Ada baiknya isi wawancara ini menjadi subjek katekese eksplisit, sehingga, ketika terjadi, mereka tidak dialami oleh pasangan sebagai formalitas belaka tetapi sebagai momen penting dari penerimaan bebas komitmen perkawinan dan asumsi penuh tanggung jawab. Dalam hal ini, ada baiknya mengingat kata-kata Benediktus XVI: « Di antara cara untuk memastikan bahwa proyek pasangan itu benar-benar perkawinan, pemeriksaan pranikah menonjol. Pemeriksaan ini terutama bertujuan hukum: untuk memastikan bahwa tidak ada yang bertentangan dengan perayaan perkawinan yang sah dan sah. Namun, legal bukan berarti formalistik, seolah-olah merupakan langkah birokrasi yang terdiri dari pengisian formulir berdasarkan pertanyaan-pertanyaan ritual. Sebaliknya, ini adalah kesempatan pastoral yang unik – untuk dihargai dengan semua keseriusan dan perhatian yang dibutuhkan – di mana, melalui dialog yang penuh rasa hormat dan keramahan, pendeta mencoba membantu orang tersebut untuk menempatkan dirinya secara serius di depan kebenaran tentang dirinya dan pada panggilan manusia dan Kristen seseorang untuk menikah. Dalam pengertian ini, dialog, yang selalu dilakukan secara terpisah dengan masing-masing dari dua pasangan yang bertunangan – tanpa mengurangi kenyamanan wawancara lain dengan pasangan itu – membutuhkan iklim ketulusan penuh, di mana seseorang harus mengandalkan fakta bahwa kontraktor itu sendiri adalah pihak yang bertanggung jawab. pihak yang berkepentingan pertama dan yang pertama dalam hati nurani berkewajiban untuk merayakan perkawinan yang sah » (Benediktus XVI, Pidato Pembukaan Tahun Yudisial di Tribunal Rota Romawi, 22 Januari 2011).

[84]    Lih. Amoris Laetitia, 59-66.

[85]    Lih. Katekismus Gereja Katolik, 1606-1608.

[86]    « Perayaan sakramen ini memperoleh makna khusus bagi kehidupan keluarga: sementara dalam iman mereka menemukan bagaimana dosa itu itu tidak hanya bertentangan dengan perjanjian dengan Tuhan  tetapi juga perjanjian pasangan dan untuk persekutuan keluarga, pasangan dan semua anggota keluarga mereka dituntun untuk bertemu dengan « Allah yang kaya dengan belas kasihan » (Ef 2:4), yang, dengan melimpahkan kasih-Nya yang lebih dahsyat dari pada dosa, ia membangun kembali dan menyempurnakan perjanjian suami-istri dan persekutuan keluarga » (Familiaris Consortio, 58).

[87]    « Dalam persiapan yang paling cepat, penting untuk mencerahkan pasangan sehingga mereka menghayati perayaan liturgi dengan sangat mendalam, membantu mereka untuk memahami dan menghayati makna setiap gerakan. Kami ingat itu komitmen sebesar apa yang mengungkapkan persetujuan perkawinan, dan persatuan tubuh yang mengkonsumsi perkawinan, ketika datang ke dua dibaptis, hanya bisa diartikan sebagai tanda kasih Anak Allah menjadi manusia dan bersatu dengan Gereja-Nya dalam perjanjian kasih. Dalam dibaptis, kata-kata dan gerak tubuh diubah menjadi bahasa yang memanifestasikan iman. […] Terkadang pasangan yang bertunangan tidak merasakan bobot teologis dan spiritual dari persetujuan, yang menerangi arti dari semua gerakan berikutnya. Itu perlu soroti bahwa kata-kata itu tidak dapat direduksi hingga saat ini; mereka mereka menyiratkan suatu totalitas yang mencakup masa depan » (Amoris Laetitia, 213-214).

[88]    « Sakramen bukanlah “benda” atau “kekuatan”, karena pada kenyataannya Kristus sendiri datang untuk bertemu dengan pasangan Kristen […]. Perkawinan Kristen adalah tanda yang tidak hanya menunjukkan betapa Kristus mencintai Gereja-Nya dalam Perjanjian yang dimeteraikan di kayu Salib, tetapi membuat cinta ini hadir dalam persekutuan pasangan. Bersatu dalam satu daging mereka mewakili perkawinan Anak Allah dengan kodrat manusia. […] Meskipun analogi antara pasangan suami-istri dan Gereja Kristus adalah analogi yang tidak sempurna, itu mengajak kita memohon kepada Tuhan untuk mencurahkan kasih-Nya dalam batas-batas hubungan perkawinan » (Amoris Laetitia, 73).

[89]    « Saya diingatkan akan keajaiban penggandaan roti: untuk Anda juga, Tuhan dapat melipatgandakan cinta Anda dan memberikannya segar kepada Anda dan baik setiap hari. Ini memiliki persediaan yang tak terbatas! Dia memberimu cinta yang ada di dasar persatuan Anda dan setiap hari memperbaruinya, memperkuatnya. Dan itu membuatnya semakin besar ketika keluarga tumbuh dengan anak-anak » (Fransiskus, Pidato untuk pasangan yang bertunangan dalam mempersiapkan perkawinan, 14 Februari 2014).

[90]    Lih. Dewan Kepausan untuk Keluarga, Persiapan Sakramen Perkawinan, 50-58.

[91]    Lih. Katekismus Gereja Katolik, n. 1622; Dewan Kepausan untuk Keluarga, Persiapan Sakramen Perkawinan, 53.

[92]    Lih. Dewan Kepausan untuk Keluarga, Persiapan Sakramen Perkawinan, 50-58.

[93]    « Persiapan untuk perkawinan Kristen dapat dikualifikasikan sebagai suatu perjalanan iman, yang tidak berakhir dengan perayaan perkawinan tetapi berlanjut sepanjang hidup berkeluarga, sehingga perspektif kita tidak berakhir pada perkawinan sebagai suatu tindakan, pada saat perayaan itu, tetapi sebagai suatu keadaan tetap » (Dewan Kepausan untuk Keluarga, Persiapan Sakramen Perkawinan, 16).

[94]    « Efektivitas terbesar dari pelayanan pastoral dicapai di mana pendampingan tidak berakhir dengan perayaan perkawinan, tetapi “mengawal” setidaknya tahun-tahun pertama kehidupan perkawinan. Melalui wawancara dengan pasangan lajang dan momen komunitas, ini adalah pertanyaan untuk membantu pasangan muda memperoleh alat dan dukungan untuk menjalani panggilan mereka. Dan ini hanya dapat terjadi melalui jalur pertumbuhan iman dari pasangan itu sendiri » (Fransiskus, Sambutan kepada para Peserta Keuskupan Kursus Persiapan Perkawinan dan Keluarga yang diselenggarakan oleh Tribunal Rota Roma, 27 September 2018).

[95]    « Sangat penting untuk menemani pasangan di tahun-tahun pertama kehidupan perkawinan, untuk memperkaya dan memperdalam keputusan sadar dan bebas untuk saling memiliki dan mencintai sampai akhir. Sering kali waktu pertunangan tidak cukup, keputusan untuk menikah dipercepat karena berbagai alasan, sementara, seolah-olah itu tidak cukup, pematangan kaum muda telah tertunda. Oleh karena itu, pengantin baru menemukan diri mereka harus menyelesaikan jalan yang seharusnya terjadi selama pertunangan » (Amoris Laetitia, 217).

[96]    « Perjanjian cinta antara pria dan wanita, perjanjian seumur hidup, tidak diimprovisasi, tidak dibuat dalam semalam […], Anda harus bekerja pada cinta, Anda harus berjalan. Aliansi cinta pria dan wanita dipelajari dan disempurnakan. Saya ingin mengatakan bahwa ini adalah aliansi pengrajin. Membuat dua kehidupan menjadi satu kehidupan juga hampir merupakan mukjizat, mukjizat kebebasan dan hati, dipercayakan kepada iman » (Francis, Audiensi Umum. Keluarga – 16. Pertunangan, 27 Mei 2015).

[97]    « Persatuan itu nyata, tidak dapat dibatalkan, dan telah dikukuhkan serta disucikan oleh sakramen perkawinan. Tetapi dalam persatuan, pasangan menjadi [bersama Yesus yang hadir di tengah-tengah mereka] protagonis, penguasa sejarah mereka sendiri dan pencipta proyek yang harus dilakukan bersama. […] Kata “ya” yang mereka ucapkan adalah awal dari sebuah rencana perjalanan, dengan tujuan yang mampu mengatasi keadaan atau hambatan yang mungkin terjadi. Berkat yang diterima adalah anugerah dan dorongan untuk jalan yang selalu terbuka ini. Seringkali membantu mereka duduk untuk berbicara untuk menguraikan proyek konkret mereka tentang tujuannya, sarananya, dan perinciannya » (Amoris Laetitia, 218).

[98]    « Diinginkan agar pasangan-pasangan muda secara layak didampingi, khususnya dalam lima tahun pertama kehidupan perkawinan, melalui kursus-kursus pasca-perkawinan, diadakan di paroki-paroki atau kevikepan/dekanat » (Dewan Kepausan untuk Keluarga, Persiapan Sakramen Perkawinan, 73).

[99]    Lihat misalnya Cyril dari Yerusalem – Yohanes dari Yerusalem, Katekese Mystagogis; Ambrose dari Milan, De Sacramentis; De Misteri.

[100] Lih. Amoris Laetitia, 133-135; 143-146; 163-164; 321-323.

[101] Lih. Amoris Laetitia, 125; 147-152; 319-320.

[102] Lih. Amoris Laetitia, 77; 120-124.

[103] Lih. Amoris Laetitia, 72-75; 317-318.

[104]            « Seluruh kehidupan bersama pasangan, seluruh jaringan hubungan yang akan mereka jalin di antara mereka sendiri, dengan anak-anak mereka dan dengan dunia, akan diresapi dan diperkuat oleh rahmat sakramen yang mengalir dari misteri Inkarnasi dan Paskah, di mana Allah mengungkapkan semua cinta-Nya bagi umat manusia dan bersatu erat dengannya. Mereka tidak akan pernah sendirian, dengan kekuatan-Nya mereka menghadapi tantangan yang muncul. Mereka dipanggil untuk menanggapi karunia Tuhan dengan komitmen, kreativitas, perlawanan dan perjuangan mereka sehari-hari, tetapi mereka akan selalu dapat memohon Roh Kudus yang menguduskan persatuan mereka, sehingga rahmat yang diterima dapat diwujudkan kembali dalam setiap situasi baru » (Amoris Laetitia, 74).

[105] « Tatapan kita beralih ke masa depan yang perlu kita bangun hari demi hari hari dengan rahmat Tuhan dan justru karena alasan inilah pasangan tidak diharapkan menjadi sempurna. Kita harus mengesampingkan ilusi dan menerimanya apa adanya: belum selesai, dipanggil untuk tumbuh, di jalan. Ketika pandangan terhadap pasangan terus-menerus kritis, ini menunjukkan bahwa perkawinan tidak dianggap juga sebagai proyek yang dibangun bersama, dengan kesabaran, pengertian, toleransi, dan kemurahan hati. Ini berarti bahwa cinta berangsur-angsur digantikan oleh tatapan ingin tahu dan keras kepala, oleh kendali atas kebaikan dan hak masing-masing, oleh protes, persaingan, dan pembelaan diri. Dengan demikian mereka menjadi tidak dapat mendukung satu sama lain untuk pematangan keduanya dan untuk pertumbuhan serikat. Pasangan baru perlu menyajikan ini dengan kejelasan yang realistis sejak awal, sehingga mereka menyadari fakta bahwa mereka baru memulai » (Amoris Laetitia, 218).

[106] Lih. Amoris Laetitia, 221.

[107] Lih. Amoris Laetitia, 106; 163; 210; 232-234; 240.

[108] « Perjalanan ini melibatkan melewati berbagai tahap yang menuntut pemberian diri dengan murah hati: dari dampak awal yang ditandai dengan ketertarikan yang sangat sensitif, seseorang beralih ke kebutuhan akan yang lain yang dirasakan sebagai bagian dari hidupnya. Dari sana kita beralih ke rasa saling memiliki, kemudian ke pemahaman seluruh hidup sebagai proyek keduanya, kemampuan untuk menempatkan kebahagiaan orang lain di atas kebutuhan sendiri, dan kegembiraan melihat perkawinan seseorang sebagai kebaikan bagi masyarakat » (Amoris Laetitia, 220).

[109] « Pematangan cinta juga menyiratkan belajar untuk “bernegosiasi”. Ini bukan sikap tertarik atau permainan bisnis, tetapi pada akhirnya merupakan latihan cinta timbal balik, karena negosiasi ini merupakan jalinan tawaran timbal balik dan penolakan demi kebaikan keluarga. Dalam setiap tahap baru kehidupan perkawinan, perlu untuk duduk dan merundingkan kembali kesepakatan, sehingga tidak ada pemenang dan pecundang, tetapi keduanya menang » (Amoris Laetitia, 220).

[110] « Pasangan muda juga harus didorong untuk menciptakan kebiasaan mereka sendiri, yang menawarkan perasaan nyaman dan perlindungan yang sehat, dan yang dibangun dengan serangkaian kebiasaan harian bersama. Adalah baik untuk selalu saling menyapa penuh cinta di pagi hari, saling memberkati setiap malam, menunggu yang lain dan menyambutnya ketika dia datang, kadang-kadang keluar bersama, berbagi pekerjaan rumah » (Amoris Laetitia, 226).

[111] Lih. Amoris Laetitia, 17-18.

[112] Lih. Amoris Laetitia, 313ss.

[113] Lih. Amoris Laetitia, 150-157.

[114] Lih. Amoris Laetitia, 80-83.

[115] Lih. Amoris Laetitia, 84-85; Fransiskus, Audiensi Umum Keluarga – 15. Pendidikan, 20 Mei 2015.

[116] « Pasangan yang memiliki “pengalaman magang” yang baik pada pengertian ini dapat menawarkan sarana-sarana praktis yang berguna bagi mereka: perencanaan saat-saat untuk bersama dengan leluasa/bebas, waktu rekreasi dengan anak-anak, berbagai cara merayakan hal-hal penting, ruang spiritualitas bersama. Tapi mereka juga bisa mengajarkan trik-trik yang membantu mengisi momen-momen tersebut dengan isi dan makna, agar bisa belajar berkomunikasi dengan lebih baik » (Amoris Laetitia, 225).

[117] Lih. Amoris Laetitia, 211.

[118] « Pasangan harus dibantu untuk menyadari bahwa mengatasi krisis tidak perlu memperlemah hubungan mereka; sebaliknya, hal itu dapat memperbaiki, memantapkan dan mematangkan anggur perkawinan mereka. […] ketika perkawinan dipandang sebagai sebuah tugas perutusan yang juga mencakup mengatasi rintangan, maka setiap krisis menjadi kesempatan untuk bersama-sama minum anggur terbaik » (Amoris Laetitia, 232).

[119] « Spiritualitas suami-istri […] harus mencakup pemulihan dinamisme sakramental dengan peran khusus untuk sakramen Rekonsiliasi dan Ekaristi. Sakramen Rekonsiliasi memuliakan rahmat ilahi terhadap kesengsaraan manusia, meningkatkan vitalitas pembaptisan dan dinamisme yang tepat untuk Penguatan. Oleh karena itu, penguatan pedagogi cinta tebusan yang membuat seseorang menemukan dengan heran kebesaran belas kasihan Tuhan dalam menghadapi drama manusia, diciptakan oleh Tuhan dan ditebus dengan lebih mengagumkan. Ekaristi, merayakan kenangan akan penyerahan diri Kristus kepada Gereja, mengembangkan cinta afektif yang layak untuk perkawinan dalam pemberian sehari-hari kepada pasangan dan anak-anak, tanpa melupakan dan mengabaikan bahwa “perayaan yang memberi makna pada setiap bentuk doa dan ibadah itu adalah yang diungkapkan dalam kehidupan sehari-hari keluarga, jika itu adalah keberadaan yang terdiri dari cinta dan pemberian diri” (EV 93) » (Dewan Kepausan untuk Keluarga, Persiapan Sakramen Perkawinan, 41)

[120] Lih. Amoris Laetitia, 186; 318.

[121] Lih. Amoris Laetitia, 105-108.

[122] Lih. Amoris Laetitia, 227-229.

[123] Lih. Fransiskus, Pidato Pembukaan Tahun Yudisial di Tribunal Rota Roma, 29 Januari 2019.

[124] Lih. Amoris Laetitia, 313-324; Gaudete et Exsultate, 14-34.

[125] Lih. Amoris Laetitia, 87.

[126] Lih. Amoris Laetitia, 88; 324.

[127] Lih. Amoris Laetitia, 232. Sulla Sfida delle Crisi Coniugali, cfr. i nn. 232-240.

[128] Amoris Laetitia, 238.

[129] Amoris Laetitia, 234.

[130] Lih. Fransikus, Audiensi dengan anggota Asosiasi Retrouvaille, 6 November 2021.

[131] Amoris Laetitia, 235-236.

[132] Amoris Laetitia, 236.

[133] Amoris Laetitia, 241.

[134] Amoris Laetitia, 242.

[135] Ibid.