No. 62/G.111/II/2015

 

Saudara-saudari umat Allah yang terkasih, Mulai besok Rabu Abu, yang jatuh pada tanggal 18 Februari 2015, kita akan memasuki masa Prapaskah. Inilah masa suci bagi seluruh Umat Katolik sebagai persiapan rohani untuk merayakan sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan dengan lebih layak. Persiapan ini kita hayati lewat sikap tobat dan pembaruan hidup.

Secara khusus selama masa Prapaskah tahun ini, bersama Panitia Aksi Puasa Pembangunan Keuskupan Surabaya kita berkomitmen untuk membangun keluarga sebagai sekolah iman yang penuh sukacita. Tema ini penting karena berkaitan dengan fokus perhatian pastoral Ardas Keuskupan Surabaya yang mencanangkan tahun 2015 sebagai Tahun Keluarga dan Pendidikan. Hal tentang fokus pastoral ini telah saya sampaikan pula secara khusus pada Surat Gembala ArDas di awal tahun.

Bacaan Injil hari ini dengan jelas menggambarkan pula kaitan antara iman dan sukacita. Keputusan si penderita kusta untuk datang kepada Yesus adalah keputusan yang dilandasi oleh imannya: “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” Ia tahu dengan pasti kepada siapa ia mesti berseru, di tengah situasi diri yang terkucil secara sosial dan religius akibat penyakit kustanya. Dengan belas kasihNya, Yesus menanggapi seruan itu dan menjadikannya tahir. Perjumpaan penderita kusta yang penuh iman dengan Yesus berbuah sukacita dalam hidupnya. Sukacita itulah yang membuatnya tak mampu lagi diam berhadapan dengan pengalaman keselamatan yang diterimanya. Ia pergi dan mewartakan pengalaman penuh sukacita itu ke mana-mana.

Berkenaan dengan tema Prapaskah kita tahun ini, baiklah kalau kita juga merenungkan konteks keluarga kita masingmasing sebagai sekolah iman yang penuh sukacita. Sungguh menarik bahwa dalam kesempatan Sinode para Uskup tahun lalu Bapa Suci Paus Fransiskus mengingatkan kita agar menyadari pentingnya peran keluarga dalam pembaharuan hidup dunia dan Gereja.

Krisis relasi serta moral dan iman dalam keluarga, secara cepat atau lambat, akan mempengaruhi wujud masyarakat. Keluarga adalah komunitas iman, harapan, dan kasih. Karena itu, keluarga bisa disebut juga sebagai Gereja Rumah Tangga. Keluarga pun merupakan sel masyarakat yang paling awali. Norma dan nilai keluarga adalah dasar hidup sosial. Keluarga merupakan sekolah untuk bermasyarakat dan menggereja (bdk. Kompendium KGK 456-457). Masa Prapaskah ini merupakan saat yang tepat bagi kita untuk menegaskan kembali panggilan keluarga kepada kekudusan dan peran kuncinya dalam memperbaiki masyarakat.

Sehubungan dengan panggilan keluarga kepada kekudusan, sesungguhnya keluarga kristiani adalah sekolah iman. Melalui keluargalah, pewarisan, penerusan ajaran dan penghayatan iman dari orang tua kepada anak-cucu secara real dilangsungkan. Wujud nyata penghayatan iman tampak pada aneka relasi, baik secara internal keluarga maupun antarkeluarga di tengah masyarakat. Iman seseorang hanya berkembang dengan penuh dalam kebersamaan dengan orang lain, secara khusus berawal dari keluarga.

Kesadaran akan peran keluarga sebagai sekolah iman menjadi semakin penting di tengah maraknya semangat individualisme jaman ini. Semangat ini berpotensi memecah kesatuan keluarga menjadi pribadi-pribadi yang terisolasi dalam dirinya sendiri. Jika tidak disadari, semangat ini akan membawa anggota keluarga untuk berpikir bahwa dirinya berkembang hanya jika memenuhi keinginan dirinya sendiri yang dipandang absolut, juga dalam iman. Oleh sebab itu, saya mengajak seluruh keluarga katolik, seirama dengan semangat tobat dalam masa Prapaskah, untuk meningkatkan jumlah dan mutu keterlibatan kita dalam kehidupan iman bersama keluarga sehingga kita pun bisa menjadi agen perubahan masyarakat. Belum lama ini Bapa Suci Paus Fransiskus melalui Seruan Apostolik “Evangelii Gaudium”, mengingatkan kita bahwa hakekat setiap pribadi kristiani, dengan demikian juga setiap keluarga kristiani, adalah menjadi misionaris sukacita Injil. Inilah tantangan keluarga kristiani kita saat ini dan di hari-hari mendatang. Setiap keluarga kristiani dipanggil untuk menjadikan dirinya sekolah iman yang penuh sukacita dan mewartakan sukacita yang dialaminya.

Dalam panggilan ini, saya mengajak setiap keluarga kristiani untuk senantiasa menemukan dan memaknai sumber sukacitanya yang sejati. Sukacita tumbuh dan mekar karena ada komunikasi yang intim dan hangat, perjumpaan antar pribadi yang bermutu, kesetiaan dalam doa bersama, pengampunan satu sama lain, kepedulian untuk saling mendewasakan iman, dan amal kasih. Itu semua bisa terwujud bila keluarga kristiani menyadari bahwa ikatan yang ada di antara anggota keluarga kristiani bukanlah semata ikatan sosial dan manusiawi. Ikatan yang mempersatukan anggota keluarga kristiani adalah ikatan iman: perjumpaan pribadi dengan Kristus yang menyelamatkan. Inilah sumber sukacita sejati keluarga kristiani.

Akhirnya, saya ingin menegaskan kembali apa yang pernah dikatakan Bapa Suci Paus Fransiskus dalam Ensiklik “Lumen Fidei”, bahwa: “dalam perjumpaan dengan Kristus, kita akan ditangkap dan dipandu oleh kasihNya, cara pandang tentang keberadaan kita pun diperluas; bahkan kepada kita diberikan pengharapan kokoh yang tak akan mengecewakan. Iman bukanlah tempat perlindungan bagi seorang pengecut, melainkan sesuatu yang membuat kehidupan kita lebih baik. Iman membuat kita menyadari sebuah panggilan yang begitu besar, yakni panggilan kasih. Iman meyakinkan kita bahwa kasih ini dapat dipercaya dan layak dipeluk, karena didasarkan pada kesetiaan Allah yang lebih kuat daripada setiap kelemahan kita” (bdk. Lumen Fidei 53). Semoga Allah memberkati dan membimbing pertobatan kita selama masa Prapaskah ini. Kiranya rahmat pertobatan ini membawa kita untuk semakin mendekat pada Kristus, sumber sukacita sejati bagi kehidupan iman keluarga kita di tengah pluralitas masyarakat jaman ini.

 

 

Surabaya, 10 Pebruari 2015

Berkat Tuhan,

Vincentius Sutikno Wisaksono

Uskup Surabaya